Senin, 01 April 2013


SEJARAH KERAJAAN MATARAM KUNO (JAWA TIMUR)


PENDAHULUAN

Meletusnya Gunung Merapi mengakibatkan berakhirnya babakan sejarah Mataram di Jawa Tengah wangsa Sailendra. Pusat Kerajaan Mataram di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur. Dengan pusat yang baru berarti pula babakan dan perjalanan sejarah yang baru bagi Mataram. Pendiri Kerajaan Mataram yang berpusat di Jawa Timur adalah Pu Sindok yang masih keturunan dari wangsa Sailendra. Pu Sindok mendirikan wangsa baru dan dikenal dengan wangsa Isana.
Setelah Pu Sindok, sejarah wangsa Isana mulai tercatat dengan munculnya tokoh-tokoh utama seperti Dharmmawangsa, Airlangga, dan seterusnya. Satu hal yang menjadi ciri cerita Sejarah di Jawa Timur ini adalah munculnya Kerajaan  Panjalu atau Kadiri dan Kerajaan Jenggala. Ciri utama yang lain adalah adanya kemajuan yang pesat di dalam kebudayaan Jawa, khususnya bidang kesusastraan.



1.        WANGSA ISANA
1.1.   Asal-usul Wangsa Isana
Istilah wangsa Isana dijumpai dalam prasasti Pucangan (bagian berbahasa Sanskerta), dikeluarkan oleh Raja Airlangga tahun 963 Saka (1041 M). Dimuat silsilah Raja Airlangga, mulai dari Raja Sri Isanatungga (Pu Sindok). Pu Sindok mempunyai anak perempuan Sri Isanatunggawijaya menikah dengan Sri Lokapala, mempunyai anak Sri Makutawangsawarddhana (dalam bait ke-9 sengaja disebut keturunan wangsa Isana.  Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:185).
Pendiri wangsa Isana adalah Pu Sindok Sri Isanawikramma Dharmmotunggadewa. Kedudukan Pu Sindok dalam masa pemerintahan Rakai Layang dyah Tlodhong berturut-turut sebagai rakryan mapatih i halu dan rakryan mapatih i hino, diketahui bahwa Pu Sindok masih keturunan wangsa Sailendra. Karena Mataram Jawa Tengah mengalami kehancuran yang disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang mahadahsyat (sebagai peristiwa pralaya/kehancuran dunia pada akhir masa Kaliyuga), maka harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Oleh karena itu, Pu Sindok yang membangun kembali kerajaan di Jawa Timur, sebagai wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Prasasti Paradah tahun 865 Saka (943 M) dan prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937 M) menyebutkan bahwa nama kerajaan yang baru tersebut tetap Mataram, dengan ibukota yang pertama adalah Tamwlang (terdapat pada akhir prasasti Turyyan tahun 851 Saka/929 M). Letak Tamwlang, yang hingga kini di dalam prasasti Turyyan itu saja, mungkin di dekat Jombang sekarang, di sana masih ada Desa Tambelang. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:185-186).
Kedudukan Pu Sindok dalam keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram itu memang dipermasalahkan. Akan tetapi, Pu Sindok pernah memangku jabatan rakai Halu dan Rakryan Mapatih i Hino, yang menunjukkan ia pewaris takhta kerajaan yang sah siapapun ayahnya. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:186).
Pu Sindok sekurang-kurangnya memerintah sejak tahun 929 M – 948 M. Dalam masa pemerintahannya ditemukan ±20 prasasti yang sebagian besar tertulis di atas batu. Silsilah Raja Dharmmawangsa Airlangga terdapat pada prasasti Pucangan. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:187).
Tempat pendarmaan Pu Sindok disebut dalam prasasti Kamalagyan dan dalam prasasti Pucangan, yaitu Isanabhawana. Menunjukkan bahwa Pu Sindok benar-benar ada dalam sejarah karena di dalam masyarakat Jawa Kuno rasanya tidak mungkin orang menyebut bangunan suci tempat memuja arwah seseorang kalau tokohnya dan bangunan suci itu tidak benar-benar ada. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:187).
Sebagian besar prasasti Pu Sindok berkenaan dengan penetapan sima (= tanah yang diberikan raja atau penguasa kepada masyarakat yang dianggap berjasa) bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau pemerintah desa.
§   Prasasti Linggasutan tahun 851 Saka (929 M). Raja telah memerintahkan agar Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung, dengan penghasilan pajak sebanyak 3 (?) emas dan kewajiban kerja bakti seharga 2 masa setiap tahunnya.
§   Prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937 M) dikatakan bahwa Raja Pu Sindok telah memerintahkan agar tanah sawah kakatikan (?) di Anjukladang dijadikan sima, dan dipersembahkan kepada bathara di sang hyang prasada kabhaktyan di Sri Jayamerta, dharmma dari Samgat Anjukladang.
§   Prasasti Muncang tahun 866 Saka (944 M) juga dijumpai Bathara i Walandit. Di dalam prasati ini diperingati perintah raja untuk menetapkan sebidang tanah di sebelah selatan pasar di Desa Muncang yang masuk wilayah Rakryan Hujung menjadi sima oleh Samgat (...) Dang Acaryya Hitam, untuk mendirikan prasada kabhaktyan bernama Siddhayoga, tempat para pendeta melakukan persembahan kepada bhatara setiap hari, dan mempersembahkan bunga kepada bhatara di Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit.
§   Prasasti Gulung-gulung tahun 851 Saka (929 M), Rakryan Hujung (Pu Madhuralokaranjana) mohon kepada raja agar diperkenankan menetapkan sawah di Desa Gulung-gulung dan sebidang hutan di Bantaran menjadi sima, dengan tujuan menjadikan tanah wakaf (dharmmaksetra) berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung yaitu mahaprasada di Himad.
§   Prasasti Jeru-jeru tahun 852 Saka (930 M) Rakryan Hujung kepada raja agar diperkenankan menetapkan Desa Jeru-jeru yang merupakan anak Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung sendiri, menjadi tanah wakaf berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung, yaitu Sang Sala di Himad.
§   Prasasti Himad/Walandit (tidak berangka tahun), dikeluarkan pada waktu Gajah Mada menjabat rakryan mapatih di Janggala dan Kadiri. Menyebutkan tentang persengketaan antara penduduk Desa Walandit dengan penduduk Desa Himad mengenal status dharma kabuyutan di Walandit, yang oleh penduduk Desa  Walandit dikatakan berstatus swatantra, dan berhak penuh atas Desa Walandit, sebagaimana telah dikukuhkan oleh prasasti yang bercap kerajaan Pu Sindok.
§   Prasasti Muncang  menyebutkan sang hyang swayambhuwa i walandit, bangunan suci diidentifikasi dengan suatu candi untuk pemujaan Gunung Bromo, karena Swayambhu adalah nama lain dari Dewa Brahma, dan kenyataan bahwa Desa Wonorejo tidak seberapa jauh dari Gunung Bromo itu.
§   Prasasti Turyyan tahun 851 Saka (929 M) memberi keterangan tentang permohonan Dang Atu pu Sahitya untuk memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan bangunan suci. Prasati Turyyan hingga kini masih di tempat aslinya, yaitu di Dukuh Watu Godeg, Kelurahan Tanggung, Kecamatan Turen (nama asli), Kabupaten Malang.
§   Prasasti Wulig tahun 856 Saka (935 M), memperingati pembuatan bendungan. Disebutkan perintah Rakryan Binihaji Rakryan Mangibil (permaisuri/salah seorang selir Pu Sindok), kepada Samgat Susuhan agar memerintahkan penduduk Desa Wulig; Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran, dan Busuran untuk membuat bendungan.
§   Prasasti Geweg tahun 855 Saka (933 M) dan prasasti Cunggrang tahun 851 Saka ( 929 M).  Di dalam prasasti Geweg, Pu Sindok tidak memakai gelar maharaja, tetapi rakryan sri mahamantri dan sang permaisuri disebut Rakryan Sri Parameswari Sri Warddhani pu Kbi. Di dalam prasasti Cunggrang, sang permaisuri disebut Rakyan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kbi. Diperingati perintah Pu Sindok untuk menetapkan Desa Cunggrang yang masuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan langsung dari Wahuta Wungkal menjadi sima bagi pertapaan di Pawitra dan bagi ayah dari permaisuri raja yang bernama Dyah Kebi.
§   Prasasti Kanuruhan tahun 856 Saka (935 M) yang dipahatkan di  belakang sandaran sebuah arca Ganesha, dan keadaannya terputus di bagian atas sebelah kiri. Prasasti ini memperingati penetapan sima yang bukan atas perintah raja, melainkan oleh Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpah.
§   Prasasti Waharu IV tahun 853 Saka (931 M), dikatakan bahwa penduduk Desa Waharu telah mendapat anugerah raja, karena penduduk Desa Waharu di bawah pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja, ikut berusaha agar raja menang dalam peperangan, dan mengerahkan senjata, tanpa ingat siang ataupun malam dalam mengikuti bala tentara raja, sambil membawa panji-panji dan segala macam bunyi-bunyian, pada waktu raja hendak membinasakan musuh-musuhnya yang dianggap sebagai perwujudan kegelapan. Dalam prasasti ini peristiwa di bidang politik yang terdapat di dalam prasati Pu Sindok hanya samar-samar, karena memang tidak ada peristiwa politik yang dijelaskan dalam prasasti Pu Sindok tersebut.
§   Prasasti Sumbut tahun 855 Saka (933 M) memberi keterangan bahwa Pu Sindok telah memberi anugerah sima Desa Sumbut kepada Sang Mapanji Jatu Ireng, yang telah berjasa ikut menghalau musuh bersama penduduk Desa Sumbut, dengan tujuan agar kedudukan raja di atas singgasana dapat langgeng. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:187-195).

Perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu disertai dengan penaklukan-penaklukan. Hal ini dapat dipahami karena sejak Rakai Watukura dyah Balitung kekuasaan kerajaan Mataram telah meluas ke Jawa Timur. Adanya prasasti Waharu dan prasasti Sumbut memang menggambarkan  kemungkinan tersebut. Seperti telah disebutkan, ibukota kerajaan yang pertama terletak di Tamwlang. Tetapi, di dalam prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang ibu kota kerajaan disebutkan ada di Watugaluh (Desa Watugaluh, dekat Jombang di tepi Kali Brantas). Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:197).
Prasasti Anjukladang menyebutkan adanya Candi Lor (lihat Gambar 01)
dan sekarang di dekat Berbek, Kabupaten Nganjuk ada reruntuhan candi. Di dekat lokasi prasasti Cunggrang di lereng timur Gunung Penganggungan ditemukan beberapa peninggalan tempat pemandian, antara lain di Belahan, yang tidak jauh dari lokasi prasasti. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:195).

1.2.  Dharmmawangsa Teguh
Ketika Dharmmawangsa dinobatkan menjadi raja Mataram, ia diberi gelar Sri Dharmmawangsa Tguh Anantawikrama. (Zaman Mataram Kuna, 2:8). Setelah pemerintahan Pu Sindok ada masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka tahun.
§   Prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M), berisi keterangan tentang pemberian tanah sima oleh Pu Mano, yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya, terletak di Desa Hara-Hara, di sebelah selatan perumahannya, kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku di Nairanjana yang bernama Mpu Buddhiwala, untuk digunakan sebagai tempat mendirikan bangunan suci.
§   Prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M). Memuat anugerah raja /?/ kepada Samgat Kanuruhan pu Burung berupa sima di Desa Kawambang Kulwan, agar Sang Pamgat Kanuruhan mendirikan suatu bangunan suci pemujaan dewa.
§   Prasasti Lucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). Berisi peristiwa unik yang diperingati, yaitu perbaikan jalan oleh Samgat Lucem pu Ghek (atau Lok), dan penanaman pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:196-197).
Hanya dari prasasti Pucangan diketahui bahwa Pu Sindok mempunyai anak perempuan yang cantik karena kesucian hatinya, bagaikan angsa betina yang bersayap yang tinggal di Danau Manasa yang permai, nan indah, yang senantiasa amat dicintai oleh raja sekalian angsa, yang memerintah sebagai ratu dengan nama Sri Isanatunggawijaya. Ia bersuamikan raja Sri Lokapala, raja yang bijaksana, memesonakan, dan termasyhur karena kesucian budinya. Mereka berputra Sri Makutawangsawarddhana, putra wangsa Isana, amat masyhur karena keberaniannya. Ia mempunyai anak perempuan yang amat cantik, yang merupakan kebahagiaan Pulau Jawa (Gunapriyadharmmapatni/ Mahendradatta), menikah dengan Udayana. Mereka mempunyai anak laki-laki yang tampan bernama Erlanggadewa bagaikan Rama yang terlahir dari Dasaratha. Dari abad X M muncul beberapa keterangan sejarah. Kitab Wirataparwwa tahun 918 Saka (996 M).  Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:197).
Dalam catatan sejarah, Prabu Dharmmawangsa memerintah Kerajaan Mataram dimulai pada tahun 991 M dan berakhir dengan peristiwa menyedihkan yaitu peristiwa pralaya, tahun 1017 M. Pada pemerintahan Dharmmawangsa, kerajaan Mataram mencapai kejayaan. Ia merupakan seorang raja Mataram pertama yang mengirimkan utusan ke negeri Cina, dengan tujuan menjalin hubungan dagang (bidang hubungan internasional). Di bidang kesusastraan dibuktikan dengan diperintahkannya para pujangga istana agar menyalin kitab Mahabarata ke dalam bahasa Jawa Kuno. Pengarang kitab ini adalah Wyasa atau Abyasa (dalam bahasa Jawa). Kitab Mahabarata berisi syair-syair tentang dewa-dewi yang digubah dengan indah nan halus. (Zaman Mataram Kuna, 2:10).
Raja Dharmmawangsa sangat berambisi meluaskan wilayahnya. Saingan utama Mataran adalah Kerajaan Sriwijaya. Hal inilah yang menyebabkan Raja Dharmmawangsa memerangi Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 990 M Raja Dharmmawangsa mengirimkan bala-tentaranya yang terpilih menuju ke Kerajaan Sriwijaya. (Zaman Mataram Kuna, 2:8). Ekspedisi ini meninggalkan bukti berupa prasasti batu, yaitu prasasti Hujung Langit (Bawang) di daerah Sumatra Selatan tahun 919 Saka (997 M), yang berbahasa Jawa Kuno. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:200).
Tahun 1016 M, Kerajaan Mataran tiba-tiba saja diserang oleh musuh. Serangan yang tiba-tiba itu, dibantu sepenuhnya oleh penguasa Sriwijaya yang merasa tidak senang atas perlakuan Raja Dharmmawangsa terhadap Sriwijaya. Perasaan dendam yang lama tersimpan mencapai puncaknya ketika Sang Raja Dharmmawangsa tengah mengadakan pesta besar-besaran di keraton. Kalangan istana terlena oleh luapan kegembiraan. Putri kesayangan Dharmmawangsa tengah melangsungkan pesta perkawinan dengan seorang pangeran muda Airlangga. Tanpa diduga terjadi keributan di istana, yang tidak lain dilakukan oleh seorang raja bawahan Mataram sendiri, yaitu Haji Wurawuri yang merasa sakit hati karena tidak berhasil menjadi menantu Dharmmawangsa. Begitu hebatnya keributan tersebut, kerajaan Mataram digambarkan mengalami kehancuran. (Zaman Mataram Kuna, 2:8-9). Prasasti Pucangan, baik yang berbahasa Sanskerta maupun yang berbahasa Jawa Kuno, memberitakan tentang keruntuhan itu. Bagian yang berbahasa Sanskerta mengatakan bahwa tidak lama sesudah perkawinan Airlangga dengan putri Teguh, ibu kota kerajaan yang sekian lama melebihi keindahan istana Dewa Indra, hancur menjadi abu. Karena ulah Dewi Kali itu, Airlangga masuk hutan tanpa diiringi hamba-hambanya, kecuali Narottama. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno mengatakan sebab-sebab mengapa Raja Dharmmawangsa Airlangga menetapkan desa-desa Barahem, Pucangan, dan Bapuri menjadi sima untuk tempat mendirikan pertapaan bagi para resi, bahwa hal itu telah dinazarkan oleh Sri Baginda pada waktu Pulau Jawa mengalami pralaya pada tahun 939 Saka (1017 M), yaitu pada waktu Haji Wurawari maju menyerang dari Lwaram. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:201).
Akhir masa pemerintahan Dharmmawangsa Teguh itu, yaitu karena diserang oleh raja bawahan dari Wurawuri. Karena serangan Haji Wurawuri itu terjadi tidak lama sesudah perkawinan Airlangga dengan putri Teguh, dapat diperkirakan bahwa mungkin sekali ia berambisi untuk mendampingi putri mahkota menggantikan Teguh di atas takhta kerajaan. Seperti yang dapat dilihat dari prasasti Pucangan, Dharmmawangsa Teguh dicandikan di Wwatan. Sekarang masih ada di Desa Wotan di daaerah Kecamatan Maospati (Madiun). Sejarah Indonesia Kuno “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:201-202).
1.3.  Airlangga
Pada waktu serangan Raja Wurawari, Airlangga baru berumur enam belas tahun dan sedang merayakan pernikahannya dengan putri Raja Dharmmawangsa Teguh. Pada waktu penghancuran keraton, Airlangga dan pengikutnya berhasil menyelamatkan diri dengan masuk ke dalam hutan. Airlangga dan pengikutnya hidup sebagai pertapa. Dari perjuangan Airlangga beberapa tahun kemudian, keadaan di Jawa Timur mengalami pecah belah selama Airlangga menjadi seorang pertapa. (Casparis,1958:1-5). Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa Dharmmawangsa Airlangga dapat menyelamatkan diri dari serangan Haji Wurawari, dan masuk hutan dengan hanya diikuti oleh seorang hambanya bernama Narottama. Ketika itu, Airlangga baru berusia 16 tahun sehingga belum banyak pengalaman dalam peperangan dan belum begitu mahir menggunakan senjata. Namun, karena ia penjelmaan Wisnu, ia tidak dapat binasa oleh kekuasaan mahapralaya. Selama di hutan, Airlangga tidak pernah melupakan pemujaan terhadap dewa-dewa siang dan malam. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:203).
Pada tahun 941 Saka (1019 M) ia direstui oleh para pendeta Siwa, Buddha, dan Mahabrahmana sebagai raja dengan gelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa, karena dinobatkan di Halu setelah membuat patung piutnya yang dicandikan di Isanabajra. Mengenai masa pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga lebih banyak didapatkan keterangan karena banyak prasasti yang ditemukan kembali, meskipun belum seluruhnya diterbitkan.  Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:204).
Prasasti pucangan yang berbahasa Sanskerta memuat silsilah Airlangga, dan silsilah itu memang dibuat oleh para pujangga untuk memberi pengesahan kepadanya. Andaikata tidak terjadi serangan Haji Wurawuri yang menyebabkan kehancuran pusat kerajaan Medang, barangkali silsilah itu tidak perlu dibuat, karena ia dapat menggantikan duduk di atas singgasana kerajaan mendampingi permaisurinya yang memang pewaris takhta. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:204).
Pada tahun 943 Saka (1021 M), Raja Airlangga telah memberi anugrah sima kepada penduduk Desa Cane karena mereka telah berjasa menjadi “benteng” di sebelah barat kerajaan, senantiasa memperlihatkan ketulusan hatinya mempersembahkan bakti kepada raja, tiada gentar mempertaruhkan jiwa raganya dalam peperangan, agar Sri Maharaja memperoleh kemenangan. Raja juga memberi anugrah kepada Dyah Kaki Ngadu Lengen berupa penetapan desa Kakurugan sebagai sima, ditambah dengan bermacam-macam hak istimewa, karena ia telah memperlihatkan kebaktian yang amat tinggi terhadap raja, tidak pernah segan-segan menjalankan segala perintah raja, tanpa pandang hujan ataupun panas, seolah-olah dijadikan kaki dan tangan Sri Maharaja. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:205).
Prasasti Pucangan memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan raja atas musuh-musuhnya mulai tahun 951 Saka (1029 M) sampai tahun 959 Saka (1037 M). Pertama, Airlangga menyerang ke Wuratan dan mengalahkan rajanya yang bernama Wisnuprabhawa pada bulan Phalguna tahun 951 Saka (15 Februari 1030 M). Raja ini adalah anak dari seorang raja yang ikut menyerang Dharmmawangsa Teguh hingga terjadi pralaya. Tahun berikutnya (952 Saka= 1030 M) raja mengalahkan Haji Wengker, yang bernama Panuda yang hina seperti Rawana. Pada  tahun 954 Saka (1032 M) tiba giliran Haji Wurawuri mendapat serangan Airlangga. Raja dengan diiringkan oleh Rakryan Kanuruhan Pu Narottama dan Rakryan Kuningan Pu Niti menyerbu dari Magehan (Magetan?). Dengan dikalahkannya Haji Wurawuri itu lenyaplah segala  perusuh di tanah Jawa. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:205-206).
Pada tahun yang sama ada peristiwa lain, yaitu kekalahan yang dialami Airlangga, sehingga ia terpaksa meninggalkan keratonnya ke Wwatan Mas dan melarikan diri ke Patakan. Peristiwa itu diperingati pada prasasti Terep tahun 954 Saka (21 Oktober 1032 M). Dalam prasasti itu dikatakan bahwa raja telah memberikan anugerah kepada Rakai Pangkaja dyah Tumambong, adik raja sendiri karena telah berjasa pada waktu raja harus menyingkir dari Wwatan Mas ke Patakan. Di Desa Terep Rakai Pangkaja bersembunyi dan menemukan arca Bhatari Durga. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:206-207).
Dalam prasasti Baru tahun 952 Saka (28 April 1030 M), terdapat peristiwa yang tidak dicantumkan dalam prasasti Pucangan, yaitu ditaklukan dan dibunuhnya Raja Hasin. Dikatakan pula bahwa raja telah memberikan anugerah rakyat Desa Baru dengan menetapkan Desa Baru sebagai sima. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:207).
Haji Wengker memberontak lagi. Baru pada tahun 959 Saka ia dapat ditangkap di Kapang. Raja Airlangga dengan tentaranya yang terbilang tidak banyak menyerbu ke arah barat pada tahun 957 Saka (20 Agustus 1035 M). Raja yang diserbu bernama Wijayawarmma. Akan  tetapi, baru pada tahun 959 Saka (10 November 1037 M) raja Wijayawarmma ditangkap oleh rakyatnya sendiri lalu dibunuh. Seminggu setelah terbunuhnya raja Wijayawarmma dari Wengker Airlangga mengadaka pasowanan besar dengan dihadap oleh semua raja bawahan yang telah berhasil ditaklukannya lagi. Sehari sesudah itu keluarlah prasasti Kamalagyan untuk memperingati pembuatan bendungan di Waringin Sapta. Tindakan pembuatan bendungan karena Bengawan (Brantas) seringkali menjebolkan tanggul di Waringin Sapta, sehingga banyak desa-desa di bagian hilir yang kebanjiran. Bendungan di Waringin Sapta itu disebut dengan bendungan Sri Maharaja. Seperti yang telah disebutkan, bahwa prasasti Kamalagyan dikeluarkan hanya seminggu tambah sehari setelah Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wijayawarmma, raja terahir yang belum tunduk. (lihat Gambar 02 dan Gambar 03). Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:208-210).
Keterangan menarik dari prasasti Kamalagyan adalah bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pengurangan pajak itu berlaku sejak Airlangga bertakhta di Kahuripan. Prasasti Cane menyebutkan bahwa penetapan Desa Cane sebagai sima berlaku surut sejak raja bertakhta di Wwatan Mas. Prasasti Terep menyebutkan peristiwa serangan musuh sehingga Airlangga terpaksa meninggalkan Wwatan Mas dan lari ke Patakan. Pusat kerajaan Airlangga adalah di Wwatan Mas itu. Akan tetapi, setelah tahun 1032 M diserbu musuh, raja memindahkan pusat kerajaannya ke Kahuripan. Pada prasasti Pamwatan tahun 964 Saka (19 Desember 1042 M) dituliskan dengan huruf kuadrat yang besar di sisi depan atas kata dahana, yang mungkin menunjukkan nama pusat kerajaan yang baru lagi, yaitu Dahanapura. Pusat kerajaan Airlangga yang terakhir ialah Dahana, dapat dipahami karena setelah kerajaan dibagi dua, bagian yan pertama disebut Pangjalu dengan pusat di Daha, sedang bagian yang kedua disebut Janggala. Prasasti Turun Hyang A tahun 958 Saka (1036 M) menyebutkan bahwa tidak ada lagi musuh, karena itu Airlangga menepati janjinya untuk menetapkan Desa Turun Hyang menjadi sima. Keterangan ini bertentangan dengan prasasti Pucangan, yang menyebutkan pada tahun 959 Saka (1037 M) Raja Wijayawarmma dibunuh, sehingga Airlangga dapat duduk di atas singgasana dengan meletakkan kakinya di atas kepala musuh-musuhnya. Prasasti Pucangan yang mengatakan bahwa Wijayawarmma, Haji Wengker telah ditaklukan tahun 957 Saka, dan lari meninggalkan istananya, disebutkan di situ pula pembuatan pertapaan yang diberi nama Sri Wijayasrama. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:211).
Mulai dari prasasti Cane sampai dengan prasasti Kamalagyan menyebutkan sebagai rakryan mahamantri i hino seorang putri, Sri Sanggramawijaya Dharmmaprasadotunggadewi. Di dalam prasasti Pucangan dan prasasti Pandan tahun 964 Saka (19 Desember 1042 M) yang menjabat hino adalah Sri Samarawijaya Dhamasuparnnawahana Teguh Uttunggadewa, seorang laki-laki. Suatu hal yang menarik adalah Samarawijaya memakai nama dengan unsur Teguh. Raja Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, yang dalam prasasti Sirahketing tahun 1204 M menyebut dirinya cucu atau keturunan anak Dharmmawangsa Teguh. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:212).
Airlangga mempunyai seorang pujangga yang ulung. Karya sastra pada pemerintahan Airlangga, yaitu kitab Arjunawiwaha. Berisi gubahan dari satu episode Mahabharata. Bahasa dari kitab Arjunawiwaha terindah di antara karya-karya sastra Jawa Kuno, di samping kitab Ramayana Kakawin

2.        KEADAAN MASYARAKAT
Dalam kenyataan stratifikasi sosial, masyarakat Jawa Kuno bersifat kompleks dan tumpang tindih. Seperti yang disebutkan bahwa dari seorang kasta brahmana, kasta yang tertinggi dapat menduduki jabatan dalam struktur birokrasi tingkat pusat atau tingkat watak, dapat juga di tingkat desa(wanua), tetapi dapat juga tidak mempunyai suatu jabatan. Ada juga orang dari kasta ksatria yang dapat menduduki jabatan keagamaan di tingkat pusat, seperti sang pamgat tiruan dan dapat juga menjadi seorang petapa dan tinggal di suatu biara. (Soejono, 2010:214)
Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di mana para hamba dan budak yang dipekerjakan di istana juga tinggal sekitarnya. (Suwito, dan Darmawan,2012).
Menurut berita-berita Cina, raja setiap hari mengadakan pertemuan dengan putra mahkota. Dalam pertemuan semacam itu perintah raja diturunkan melalui putra mahkota yang meneruskan kepada para pejabat tinggi kerajaan. Mereka itu menyampaikan perintah raja kepada utusan daerah yang datang menghadap dan mengajukan suatu permohonan kepada raja. Biasanya raja mengambil keputusan setelah mendengar pendapat dari para pejabat yang hadir. Seperti yang di kemukakan dalam prasasti Sarwadharmma tahun 1269 M. Di dalam prasasti ini di peringati permohonan rakyat dari desa-desa agar tidak perlu lagi membayar bermacam-macam pungutan. (Soejono, 2010:215).
Sumber-sumber berita Cina juga mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram dari abad ke-7 sampai abad ke-10. Berita ini mengungkapkan tentang perdagangan baik di dalam maupun luar negri berlangsung ramai. Hal ini terbukti dengan ditemukannya barang-barang keramik dari Vietnam dan Cina. Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa, dalam hal ini Mataram. (Suwito dan Darmawan, 2012).
Selain ibu kota kerajaan dan kota-kota yang merupakan pusat wilayah watak, tentunya dahulu ada juga kota pelabuhan. Menurut prasasti Kamalagyan, pelabuhan Hujung Galuh selalu ramai dikunjungi perahu-perahu dagang dari pulau lain. Tidak hanya pedagang dari pulau lain di Nusantara, tetapi juga dari kerajaan lain di luar Nusantara. (Soejono, 2010:219).
Di luar kota terdapat desa-desa yang diatur oleh para pejabat. Penduduk desa umumnya hidup dari bertani, berdagang kecil-kecilan, dan mengusahakan kerajinan rumah. Adanya kelompok-kelompok pemukiman itu tidak saja tebawa oleh unsur-unsur geografis dan ekologis, tetapi juga karena adanya sistem pemukiman. Beberapa prasasti menyebut dengan istilah panaturdesa dan pangastadesa, yaitu kelompok desayang terdiri dari 5 desa dan 9 desa (empat desa mengelilingi desa induk, dan 8 desa mengelilingi desa induk. (Soejono, 2010:220)
2.1.  Landasan Kosmogonis
Landasan kosmogonis, yaitu kepercayaan akan harus adanya sesuatu keserasian antara dunia manusia ini (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Menurut kepercayaan ini manusia selalu berada dibawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang terpancar dari bintang-bintang dan planet-planet. Kekuatan itu dapat membawa kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian atau bencana kepada manusia, tergantung dari atau tidaknya individu, kelompok-kelompok social, terutama kerajaan, menyerasikan hidup dan semua kegiatannya dengan gerak alam semesta. (Soejono, 2010:223).
Zaman Mataram Kuno tidak ada satu pun naskah tentang teori ketatanegaraan. Meskipun demikian, ada juga beberapa petunjuk tentang adanya konsep kosmogonis yang melandasi struktur kerajaan Mataram Kuno. Di dalam prasasti Canggal dikatakan tentang Raja Sanjaya bahwa ia sebagaimana Raja, telah menaklukan raja-raja tetangga yang mengelilinginya.  Sumber lain ialah berita Cina dari zaman dinasti T’ang. Berita ini mengatakan bahwa di sekelilingnya ada 28 kerajaan- kerajaan kecil, dan tidak ada satu pun yang tidak tunduk. (Soejono, 2010:225).
2.2.  Struktur Birokrasi
          Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja (sri maharaja) ialah penguasa tertinggi. Sesuai dengan landasan kosmologis, raja adalah penjelmaan dewa yang berada di dunia. Gelar abhiseka dan pujian-pujian kepada raja tercantum dalam prasasti dan kitab-kitab suasastra Jawa Kuno masa pemerintahan Raja Airlangga. Salah satunya dalam naskah Ramayana Kakawin, yang berisi tentang uraian rajadharmma (tugas kewajiban seorang raja). Diketahui bahwa dalam diri seorang raja berpadu dengan 8 dewa, yaitu Indra, Yama, surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:227).
            Dalam keterangan diatas dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga, ia merupakan seorang raja yang dipercayai sebagai penjelmaan dewa. Juga raja harus teguh kepada Dharmma, adil, tegas dengan menghukum yang bersalah dan memberi penghargaan kepada siapa yang berjasa, bijaksana, tidak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan, waspada terhadap keadaan rakyatnya apakah terjadi gejolak-gejolak yang mencurigakan, berusaha member ketentraman dan kebahagiaan kepada rakyatnya, wibawa dengan menunjukan kekuatan angkatan perangnya dan harta kekayaannya.
            Raja sebagai dewa sebenarnya kedudukannya tidak dapat diganggu gugat, karena sebagai dewa yang ditinggikan maka tidak dapat diragukan kebenarannya, mamun jika terjadi penggulingan kekuasaan oleh bawahannya atau raja dari mandala , dapat diketahui akan terjadi kehancuran pada zaman tersebut dan kejadian tersebut tidak terelakkan lagi. Hal tersebut terjadi  pada kerajaan Dharmmawangsa Teguh yang diserang oleh Haji Wurawari pada tahun 1016 M yang disebut dengan istilah paralaya dalam prasasti Pucangan. Namun Dharmmawangsa Airlangga dapat mendirikan kerajaan yang telah runtuh tersebut dengan penjelmaan sebagai Wisnu, sehingga tidak binasa karena kekuasaan mahaparalaya.
            Sering terjadi perebutan kekuasaan tang mengakibatkan perang antar saudara, sebenarnya dalam kerajaan telah ada ketentuan mengenai hak pewaris takhta kerajaan, yakni yang pertama berhak menggantikan duduk di takhta kerajaan ialah anak raja yang lahir dari prameswari , dapat juga adik, kemenakan, paman, atau kerabat dekat yang lain, asal masih seketurunan secara langsung. Selain itu masih ada dua orang lagi yang berhak atas takhta, yaitu rakarayan i dan halu  rakarayan i sirikan.
            Dalam prasasti dari zaman pemerintahan Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura, di jumpai penjabar yang kedudukannya setingkat dengan para putra raja, yaitu pamgat tiruan atau penjabat keagamaan. Namun dari prasasti pada zaman Rajakula Rajasa pamangat tiruan merupakan upati atau penjabat kehakiman, dan juga ada yang lain yang kedudukannya sama dengan anak raja yaitu hino, halu, sirikan, dan wka. Selain lima orang tadi disebutkan, ada duabelas orang penjabat lainnya, yaitu rake halaran, rake pangilhyang, rake wlahan, pamgat manghuri, rake langka, rake tanjung, pangkur, tawan, tirip, pamgat wadihati, dan  pamgat makudur. Namun tugas yang diemban mereka masih belum diketahui.
            Dari penjabat tinggi kerajaan, dapat diketahui pembagian pasak yang mereka terima, yaitu dibagi menjadi dua jenis dimana rakai pagarwsi berada dalam dua kelompok tersebut. Sehingga dapat diketahui dapat disebut kelompok satu, dan dapat disebut juga kelompok kedua. Namun masih ada satu penjabat lagi yang dijumpai dalam prasasti Balingawan pada tahun 891 M, dan prasasti lainnya yang ditemukan di Jawa Timur, yaitu rakryan kanuruhan. Rakryan kanuruhan mulai tampak perannya pada pemerintahan zaman Pu Sindok, dan pada zaman Darmmawangsa Airlangga ia merupakan penjabat yang penting sesudah para putra raja.
          Namun, untuk mengatahui berapa jumlah keseluruhan pekerja atau jabatan dalam Wangsa Isana belum diketahui dengan jelas, karena dalam prasasti yang diketemukan berbeda-beda dalam penyebutan jumlah pekerja sipil dan pekerja yang lebih rendah lainnya. Karena dalam prasasti tidak disebutkan dengan gamblang, dikarenakan dalam prasasti hanya menuliskan sesuatu yang penting, sehingga dalam prasasti tidak ditemukan dengan jelas dan pasti tentang jabatan dan berapa jumlahnya.
2.3.  Sumber Penghasilan Kerajaan
          Penghasilan kerajaan diperoleh dari pajak yang dipungut dari desa-desa setempat. Dalam pemungutan pajak dalam desa-desa dilakukan oleh petugas khusus, yaitu penjabat ditingkat watak yang bisebut pangurang yang memungut pajak pada desa-desa tersebut. Dengan melalui penguasa daerah (rakai dan  pamgat atau samya haji) hasil pajak yang disetorkan setelah panen, dalam dua kali setahun, pada bulan Oktober sampai November. Setelah pemungutan pajak, selanjutnya untuk dicatat terlebih dahulu, kepada petugas pencatat luas pembagian tanah di seluruh kerajaan dan ketetapan pajaknya, dengan tujuan dalam suatu daerah atau sebidang tanah di suatu daerah yang ditetepkan menjadi sima, dengan setoran pajak (pangguhan) yang ditentukan jumlahnya, yaitu sebanyak sekian mata uang emas atau perak, dan juga dalam suatu daerah tersebut wajib menyetorkan beberapa orang sebagai pekerja bakti setiap tahunnya. Dalam kewajiban kerja bakti (gawai) tersebut sering juga dinilai dengan uang  yang tertera dalam prasasti Sugihmanek.
Namun yang dimaksud pangguhan merupakan hasil bumi yang tertera pada banyak prasasti. Dalam berita Cina rakyat harus  membayar 10% dari hasil tanahnya, dengan menentukan seberapa luas bidang tanahnya (Groeneveldt, 1969: 16). Di samping pajak bumi, juga ada pajak perdagangan yang dikenakan pedagang (masamwyawahara) dan pengrajin pajak usaha yang dikenakan pada para pengrajin (misra). Dengan ketentuan pajak tertentu, yaitu untuk pengrajin, pajaknya dibagi tiga. Jika dalam daerah tersebut termasuk daerah sima itu diperuntukan untuk bangunan suci, maka sepertiga dari pungutan pajak diberikan kepada bhatara, dan sepertiga lagi untuk pengelola sima dan sepertiga lagi masuk ke kas kerajaan yang tercantum pada prasasti Linggasutan.
Dalam beberapa prasasti ada juga yang menyebutkan bahwa, ada pungutan yang ditentukan atas setiap pintu (ring salawang salawang) yan dijumpai dalam prasasti Watukura tahun 824 Saka. Ada juga yang menyebut pungutan berupa persembahan bunga (pangraga sakar) yang harus diserahkan tiap bulan purnama di bulan Jyestha (bulan Juni) dan bulan Caitra (April). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa dalam proses pemungutan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak, berarti pada masa tersebut sudah ada sensus penduduk, yang telah terdaftar dan tertulis secara rinci.
Pemungutan pajak juga berlaku pada orang-orang asing yang menetap di Jawa sebagai pedagang dan telah menjadi warga diwajibkan membayar pajak. Sehingga semua orang yang masuk atau tinggal di dalam wilayah Jawa harus membayar pajak. Namun dalam berita-berita Cina dari zaman Dinasti Sung mengatakan bahwa panglima angkatan perang mendapat gaji setengah tahun sekali sebanyak 10 tahil emas, dan tentara kerajaan digaji dua kali dalam tahun. Namun yang membingungkan kenapa para panglima dan prajurit tersebut tidak dikenakan pajak, apakah panglima dan prajurit bukan merupakan pekerjaan atau sebagai panglima dan prajurit mereka tidak dikenakan pajak karena mengabdi kepada krajaan.
2.4.   Perekonomian Kerajaan
Beberapa prasasti menerangkan tentang kegiatan perekonomian di kearajaan Mataram Kuna di Jawa Timur. Antara lain menerangkan tentang kegiatan para penduduk dalam berdagang dan membuat kerajinan. Dijelaskan pula dalam prasasti Panggumulan tentang aktivitas berdagang penduduk dari Desa Tunggalangan ke pasar di Desa Sindingan. Aktivitas itu dilakukan dengan menggunakan alat transportasi pedati dan perahu. Abakul, adagang, banyaga dan masamwyawahara merupakan beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut pedagang. Christie (1982:224-231) berpendapat bahwa abakul ialah pedagang eceran, sedang banyaga ialah pedagang besar yang melakukan perdagangan antarpulau dan mungkin juga internasional dan adagang mungkin semacam grosir. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain adalah hasil bumi, barang-barang hasil kerajinan dan hewan ternak. Pada masa pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga, perdagangan telah berkembang antarpulau, bahkan sampai ke taraf internasional. Perdagangan tidak hanya terjadi antardesa atau antarwilayah saja. Tetapi telah mengalami perkembangan secara pesat ke lingkup daerah yang lebih luas lagi.
Menurut prasasti Kamalagyan, para pedagang dari daerah lain atau negara lain banyak yang datang ke kerajaan Mataram melalui pelabuhan Hujung Galuh di Jawa Timur. Orang-orang asing yang melakukan perdagangan di wilayah kerajaan oleh Raja Dharmmawangsa Airlangga disebut wargga kilalan. Dari berita-berita Cina bisa diketahui kegiatan ekspor yang dilakukan oleh kerajaan Mataram Kuna. Barang-barang yang diekspor adalah hasil bumi dari pulau Jawa, Pulau Kalimantan dan pulau-pulau lain di Nusantara. Hasil bumi tersebut antara lain, garam, kain katun, kapuk, sutra tipis dan sutra kuning, damas, kain brokat warna-warni, kulit penyu, pinang, pisang raja, gula tebu, kemukus, cula badak, mutiara, belerang, gaharu, kayu sepang, kayu cendana, cengkih, pala, merica, damar, kapur barus, tikar pandan dan gading gajah. Wheatley (1959:4-140) mengatakan bahwa selain mengekspor, kerajaan Mataram Kuna juga mengimpor barang-barang dari daerah lain atau negara lain. Barang-barang tersebut antara lain, kain sutra dan payung sutra dari Cina, pedang dari Timur Tengah dan India, nila dan lilin batik, belanga besi berkaki tiga, piring dan mangkok bervernis, keramik biru-putih dari Cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak, dan tembaga. Barang-barang tersebut ada yang untuk konsumsi sendiri di daerah Jawa dan ada yang dijual lagi.
Dalam melakukan aktivitas perdagangan, para penduduk Kerajaan Mataram Kuna sudah memakai uang, mereka sudah tidak memakai lagi sistepertm barter. Dari berita Cina ada yang menyebutkan bahwa masih ada penduduk yang menggunakan sistim barter, tetapi kemungkinan besar hal tersebut terjadi di pedalaman luar pulau Jawa. Rockhill (1911:78-82) menyebutkan bahwa mata uang terbuat dari campuran perak dengan tembaga dan timah yang dipotong seperti dadu dan diberi cap. Enam puluh biji mata uang ini bernilai 1 tahil emas dan 32 biji sama dengan ½ tahil. Mata uang ini dikenal sebagai uang Jawa (she-p’o-kin).
Dari prasasti lain didapatkan keterangan tentang pemakaian istilah-istilah untuk satuan mata uang emas dan perak, yaitu suwarna/dharana, masa dan kupang. Satu suwarna atau satu tahil sama dengan 16 masa dan sama dengan 64 kupang. Masih ada lagi istilah mata uang wsi(=besi) atau mata uang kepeng Cina, mata uang ini dikenal dengan satuan ikat. Satu ikat terdiri dari 50 kepeng uang Cina.
2.5.   Hukum di Kerajaan
Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintah daerah adalah denda-denda yang dikenakan atas segala macam tindak pidana. Di dalam prasasti istilah yang dipakai ialah sukha duhkha /drawya haji dan dalam istilah naskah hukum disebut hala hayu. Naskah-naskah hukum tersebut merupakan naskah dari peninggalan kerajaan Majapahit, mengapa demikian? Karena tidak diketemukan naskah-naskah hukum pada zaman kerajaan Mataram dan Kadiri. Naskah-naskah hukum tersebut tertulis di atas daun lontar yang tidak bisa bertahan lebih dari seratus tahun. Naskah hukum itu tidak ditulis di atas sebuah logam karena berat dan pasti mahal dalam proses pembuatannya, oleh karena itu tidak diketemukan naskah-naskah hukum pada zaman Mataram dan Kadiri. Naerssen (1941:357-376) berpendapat bahwa naskah hukum Jawa kuna yang diketemukan merupakan hasil olahan dari naskah hukum dari India seperti Purwadhigama, Kutaramanawa/Siwasasana dan Swarajambhu. Hal tersebut bisa diketahui karena nama-nama uang yang dipakai untuk alat pembayaran denda yang menggunakan mata uang dari India seperti krsnala, dharana dan pana, serta ada yang bermata uang Jawa seperti ma, su, ku dan kepeng.
Hanya tiga prasasti yang dijadikan jayapatra/keputusan peradilan, yaitu prasati Guntur tahun 829 Saka (907 M), prasasti Warudu Kidul tahun 844 Saka (922 M) dan prasasti Tija yang tidak diketahui angka tahunnya. Hanya diketahui 18 macam tindak pidana karena keterbatasan sumber. Naerssen (1941:357-376) menyimpulkan bahwa 18 macam tindak pidana tersebut adalah tan kawehaning patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang bukan miliknya), tan kaduman ulihing kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhaning huwus winehaken (meminta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehaning upahan (tidak memberi imbalan), adwa ring samaya (mengingkari janji), alarambeknyan pamelinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadaning pinangwaken mwang mangwan (perselisihan antara penggembala ternak dengan majikannya), kahucapaning wates (perselisihan tentang batas tanah), dandaning saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrtting maling (tingkah laku pencuri), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya ring laki stri (perbuatan tidak baik terhadap suami/istri), kadumaning drwya (pembagian hak milik atau warisan), dan totohan tan prani dan totohan prani (perjudian dan taruhan). Penyelesaian masalah tindak pidana itu pertama kali diselesaikan di tingkat daerah/watak yang dipimpin oleh seorang pejabat kehakiman dengan gelar sang samgat. Apabila masalah tersebut tidak bisa diselesaikan di tingkat watak, maka bisa diajukan ke tingkat pusat. Yang menjabat hakim di tingkat pusat adalah sang pamgat tiruan dan sang pamgat manghuri. Jika masalah itu tidak terselesaikan juga, maka sang raja sendiri yang akan mengurus masalah tersebut.
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang hakim adalah harus mampu memahami dan menguasai kitab-kitab sastra dari India (Dharmmasastra, Kutaramanawa, Sarasamuccaya, Canakya, Kamandaka, dan lain sebagainnya) dan memahami hukum adat yang tidak tertulis. Dengan demikian diharapkan supaya hakim mampu bersikap tegas dan mampu memberi keadilan terhadap semua penduduk di lingkungan kerajaan. Groeneveldt (1960:16) mengatakan bahwa di Jawa tidak dikenal hukuman badan, semua kejahatan dihukum dengan denda dalam mata uang emas, yang jumlahnya sesuai dengan besar kecilnya kejahatan, hanya perampok dan pencuri yang dihukum mati. Di dalam naskah-naskah hukum ditentukan bahwa pembuktian dalam sebuah persengketaan harus didasarkan atas tiga macam bukti/tripamana, yaitu saksi, likhita dan bhukti. Saksi ialah orang lain yang menyaksikan suatu perbuatan. Sudharta (1978:64) berpendapat bahwa syarat-syarat untuk menjadi seorang saksi adalah harus orang yang sudah berkeluarga, yang banyak anaknya, penduduk asli dan tidak berkepentingan di dalam perkaranya. Likhita ialah keterangan tertulis. Bhukti ialah apa-apa yang telah diperbuat sebagai akibat dari suatu perjanjian antara kedua belah pihak. Menurut naskah hukum, apabila bhukti sudah ada, maka saksi dan likhita tidak diperlukan lagi, karena bhukti bobotnya lebih banyak daripada yang dua tadi (saksi dan likhita).
Di dalam naskah hukum juga diatur bahwa apabila ada sebuah perkara dan apabila salah satu pihak yang bersengketa tidak datang dalam persidangan, maka dikalahkan perkaranya, pihak yang datang yang dimenangkan perkaranya. Ketentuan tentang daluwarsa juga diatur, istilah hukumnya adalah leleh/kedasawarsa, dalam pengertian telah lewat 10 tahun. Ketentuan mengenai lamanya suatu perkara telah dinyatakan leleh atau belum itu berbeda-beda, tergantung dari masalahnya. Naskah hukum juga mengatur masalah perpajakan, semua daerah kekuasaan kerajaan terkena pajak, termasuk daerah sima. Daerah sima juga terkena pajak, seperti pajak perdagangan (jual-beli) dan usaha kerajinan, namun khusus daerah ini pajaknya hanya sebagian dan pajak ditarik dalam ketentuan-ketentuan khusus.
Masalah pelunasan hutang-piutang/penebusan gadai juga tetap diatur oleh naskah-naskah hukum. Cara pelunasan hutang-piutang/penebusan gadai cukup dilakukan dengan cara merobek surat hutang/gadai dihadapan saksi-saksi setelah uang pelunasan diterima. Apabila tidak bisa melunasi hutang/gadai, maka andaikata yang punya hutang adalah seorang istri, dan dia tidak memiliki anak, maka yang bertanggung jawab melunasi hutang tersebut adalah suaminya. Sedangkan apabila memiliki anak, anak tersebut berkewajiban melunasi hutang ibunya, tetapi apabila si anak masih belum cukup umur, maka sang bapak yang harus menanggung hutang istrinya.
3.        KESENIAN
3.1.   Seni Sastra
Seni sastra India memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta sangat memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan seni sastra di Indonesia. Diantaranya yaitu prasasti Wujakana yang menceritakan tentang Mahabarata dan Ramayana, wiracarita yang sangat terkemuka di India, pada permulaan abad X M, sudah dikenal oleh nenek moyang kita dalam bentuk bahasa Jawa Kuno. Naskah pada masa itu yang diketahui hanyalah Ramayana Kakawin. Wiracarita Ramayana terdiri dari tujuh kitab yang disebut Saptakanda. Urutan kitab menunjukkan kronologi peristiwa yang terjadi dalam Wiracarita Ramayana.(http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November 2012.
1. Balakanda:                Kitab Balakanda merupakan awal dari kisah Ramayana. Kitab Balakanda menceritakan Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu  Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Prabu Dasarata berputra empat orang, yaitu Rama, Bharata, Lakshmana  dan Satrughna. Kitab Balakanda juga menceritakan kisah Sang Rama yang berhasil memenangkan sayembara dan memperistri Sita,  puteri Prabu Janaka. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November 2012.
2. Ayodhyakanda:         Kitab Ayodhyakanda berisi kisah dibuang nya Rama ke hutan bersama Dewi Sita dan Lakshmana karena permohonan Dewi Kekayi. Setelah itu, Prabu Dasarata yang sudah tua wafat. Bharata tidak ingin dinobatkan menjadi Raja, kemudian ia menyusul Rama.  Rama menolak untuk kembali ke kerajaan. Akhirnya Bharata memerintah            kerajaan atas nama Sang Rama. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November 2012.
3. Aranyakanda:           Kitab Aranyakanda menceritakan kisah Rama, Sita, dan Lakshmana di tengah hutan selama masa pengasingan. Di tengah hutan,  Rama sering membantu para pertapa yang diganggu oleh para rakshasa. Kitab Aranyakanda juga menceritakan kisah     Sita diculik Rawana dan pertarungan antara Jatayu dengan Rawana. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November 2012.
4. Kiskindhakanda:       Kitab Kiskindhakanda menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan Raja  kera Sugriwa. Sang Rama membantu Sugriwa merebut kerajaannya dari Subali, kakaknya. Dalam pertempuran, Subali terbunuh. Sugriwa menjadi Raja di Kiskindha. Kemudian Sang Rama dan Sugriwa bersekutu untuk menggempur Kerajaan Alengka. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November 2012.
5. Sundarakanda:         Kitab Sundarakanda menceritakan kisah tentara Kiskindha yang  membangun jembatan Situbanda yang menghubungkan India dengan Alengka. Hanuman yang menjadi duta Sang Rama pergi ke Alengka dan menghadap Dewi Sita.  Di sana ia ditangkap namun dapat meloloskan diri dan membakar ibu kota Alengka. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November 2012.
6. Yuddhakanda:           Kitab Yuddhakanda menceritakan kisah pertempuran antara laskar kera Sang Rama dengan pasukan rakshasa Sang Rawana. Cerita diawali dengan usaha pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi lautan dan mencapai Alengka. Sementara    itu Wibisana diusir oleh Rawana karena terlalu banyak memberi nasihat. Dalam pertempuran, Rawana gugur di tangan Rama oleh senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat ke Ayodhya bersama Dewi Sita. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November 2012.
7. Uttarakanda:             Kitab             Uttarakanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang  Rama mendengar desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian Dewi Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan Rsi Walmiki dan melahirkan Kusa dan Lawa.      Kusa dan Lawa datang ke istana Sang Rama pada saat upacara Aswamedha.  Pada saat itulah mereka menyanyikan Ramayana yang digubah oleh Rsi Walmiki. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November 2012.
Kitab Mahabharata
Mahabharata adalah epik India yang menceritakan pertikaian antara keturunan Raja Bharata dari Hastinapura, yakni Pandawa sebagai pihak kebaikan melawan pihak Kurawa sebagai pihak kebatilan. Pandawa (lima bersaudara) dan Kurawa (seratus bersaudara: 99 laki-laki, 1 wanita) adalah saudara sepupu dari garis ayah. Peperangan antara mereka dikenal dengan Bharatayudha (Peperangan antara keturunan Bharata), yang berlangsung di lapang Kurusetra dan dimenangkan pihak Pandawa. Meski menang, banyak saudara dan raja pembantu dari Pandawa yang gugur dalam perang.
KitabMahabharata dianggap sebagai kitab suciWeda ke-5 setelah Rigweda, Yajurweda, Samaweda, dan Atharwaweda. Mahabharata asli terdiri atas 100.000 seloka yang terbagi dalam 18 parwa (jilid atau buku).
Selain 18 parwa, ada pula tambahan yang berjudul Hariwangsa, yaitu cerita asal-usul Kresna (Krishna), sepupu Pandawa yang menjadi penasehat Pandawa dalam perang Bharatayudha. Kresna pula yang menyemangati Arjuna yang patah semangat untuk berperang melawan Kurawa,  karena ia harus berhadapan dan membunuh guru, leluhur, dan sanak-saudaranya sendiri. Nasihat Kresna kepada Arjuna ini termuat dalam episode Bhagawad Gita.
Di dalam Mahabharata ini banyak terdapat nama kerajaan yang memang ada di India secara historis, di antaranya Magadha dan Kalingga. Sebagai karya sastra, tentunya karya ini berkaitan dengan kenyataan sehari-hari rakyat India ketika itu. Di dalam kitab tersebut tersimpan ajaran moral, etika politik, persaingan antarkeluarga dalam memperebutkan takhta, akibat keserakahan dan peperangan, hingga kisah asmara. Ditekankan pula bahwa seseorang harus berbakti kepada orang tua dan Negara meski untuk itu ia  harus mengorbankan kepentingan pribadinya (seperti kisah Bisma). Dan yang pasti bahwa kasta ksatria adalah mereka yang dipilih dewa untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan di mukabumi. (http://ssbelajar.blogspot.com/2012/05/kitab-kitab-terkenal-dalam-   sejarah.html),diakses 03 November 2012.

Kitab Arjunawiwaha
Kakawin lainnya adalah Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa yang ditulis dalam bahasa Kawi pada zaman Airlangga, Raja Medang Kamulan. Kakawin ini ditulis sekitar tahun  941-964 Saka atau 1019-1042 Masehi. Dalam Arjunawiwaha ini, sosok Arjuna diibaratkan sebagai Airlangga. Karena populernya, cerita ini berkali-kali ditulis ulang dengan berbagai judul berbeda, misalnya Mintaraga atau Bagawan Ciptaning.
Arjunawiwaha (Perkawinan Arjuna), mengisahkan perjalanan Arjuna bersama Pandawa lainnya yang tengah menjalani hukuman pengasingan selama 12 tahun karena kalah bermain judi dadu dengan Kurawa. Di tengah perjalanan, Arjuna pergi sendirian untuk menjalani tapa-brata. Ketika bertapa, Arjuna didatangi oleh Dewa Indra, atas saran Dewa Siwa dari kahyangan, yang bertujuan meminta bantuan Arjuna untuk mengalahkan raja raksasa Niwatakawaca dari Kerajaan Manimantaka. Niwatakawaca sebelumnya berhasil menyerang kahyangan (swarga; tempat tinggal para dewa) karena ia menginginkan Dewi Supraba,  seorang bidadari yang cantik, untuk diperistri.
Sebelum didatangi oleh Dewa Indra, mulanya Arjuna didatangi oleh tujuh bidadari kahyangan (di antaranya Dewi Supraba sendiri dan Nilotama) untuk menggoda tapanya. Karena tak berhasil dirayu para bidadari, akhirnya Dewa Indralah yang turun tangan. Singkat cerita, Arjuna yang telah dibekali panah Pasopati oleh Dewa Siwa mampu mengalahkan Raja Niwatakawaca. Setelah berhasil, Arjuna dinikahkan dengan Dewi Supraba dan enam bidadari lainnya. Oleh Dewa Indra,  Arjuna diperbolehkan berbulan madu selama tujuh hari di kahyangan.  (http://ssbelajar.blogspot.com/2012/05/kitab-kitab-terkenal-dalam-   sejarah.html),diakses 03 November 2012.


3.2.  Seni Pertunjukan
Di dalam prasasti Wukajana telah diketahui tentang pertunjukan wayang pada masa pemerintahan Rakai Watukara Dyah Balitung. Prasasti tersebut berisi tentang upacara penetapan desaWukajana, Tumpang, Wuru Telu menjadi sima untuk memeriahkannya lalu diadakan pertunjukan wayang yang didalangi oleh Si Galigi yang memainkan lakon Bhima Kumara.
Selain pertunjukan wayang kulit ada juga pertunjukan lawak (mamirus dan mabanol). Pada relief candi juga banyak menggambarkan pelawak tersebut, seperti tokoh-tokoh punakawan pada relief candi-candi di JawaTimur.
Selain pertunjukan di atas upacara sima juga sering di isi oleh pertunjukan tari-tarian. Ada  tarian bebas dan tarian  khusus seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan rawana hasta. Tetapi belum dapat dikenali jenis-jenis tarian tersebut. Ada juga tari topeng (matapukan). Tarian ini biasanya diiringi oleh gamelan. Pada prasasti dan  relief candi juga menampilkan jenis-jenis alat gamelan seperti gendang (padahi),  kecer atau simbal (regang), beberapa macam bentuk kecapi (wina), seruling, dan gong. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010).

Kesimpulan

Kerajaan Mataram di Jawa Timur karena pusat pemerintahan dari Jawa Tengah yang dipindahkan, disebabkan adanya letusan Gunung Merapi yang amat dahsyat. Kerajaan ini dikenal dengan wangsa Isana.
Wangsa Isana didirikan oleh Pu Sindok (Sri Isanatungga). Mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Raja Dharmmawangsa Teguh. Namun, dalam pemerintahannya, kerajaan Mataram mengalami kehancuran diserang oleh Haji Wurawuri yang tidak senang, karena tidak berhasil menjadi menantu Dharmmawangsa. Yang menjadi menantu Dharmmawangsa adalah Airlangga yang selanjutnya menjadi memecah kerajaan menjadi dua, yaitu Pangjalu dan Jenggala dengan tujuan agar tidak terjadi pertikaian di antara keturunannya.
Pada masa pemerintahan Airlangga, ia mempunyai seorang pujangga yang ulung/ahli sehingga didapatkan banyak kitab yang menggunakan bahasa Jawa Kuno.


DAFTAR RUJUKAN

·           Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno (Jilid II). Jakarta: Balai Pustaka.
·           Soejono. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
·           Hirth, F. dan W.W. Rockhill, Chau Ju-kua, His Work on Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled ‘Chu Fan Chi ; St. Petersburg, 1911 (reprint: New York: Paragon, 1966; Taipei, 1967).
·           Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Mataram Kuna. 2. Jakarta: Gita Karya.
·           Suwito, T. dan Darmawan, W. 2012. Kerajaan Mataram Kuno Dan Kehidupan Masyarakatnya (Online), (https://www.mozilla.com/en-US/plugincheck/).
·           http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana.
·           http://ssbelajar.blogspot.com/2012/05/kitab-kitab-terkenal-dalam-sejarah.html
·           Van Naerssen, F.H. 1941. De Astadasawyawahara in het Oud-Javaansch.
·           Groeneveldt, W.P. 1960. Notes on the Malay Archipelago and Malaca compiled from Chinese Sources. Djakarta. Bhatara.
·           Sudarta, C.R. & Pudja, G. 1978. Manawa Dharmacastra (Manu Dharmacastra) atau   Weda Smrti Compedium Hukum Hindu. Jakarta. Departemen Agama Republik Indonesia.
·           Christie, J.W. 1982. Pattern of Trade in Western Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries. London. Disertasi School of Oriental and African Studies University of London.
·           Wheathley, P. 1959. Geographical Notes on Some Commodities involved in Sung Maritime Trade. Kuala Lumpur. Oxfprd University Press.