SEJARAH KERAJAAN MATARAM KUNO (JAWA TIMUR)
PENDAHULUAN
Meletusnya Gunung
Merapi mengakibatkan berakhirnya babakan sejarah Mataram di Jawa Tengah wangsa
Sailendra. Pusat Kerajaan Mataram di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur.
Dengan pusat yang baru berarti pula babakan dan perjalanan sejarah yang baru
bagi Mataram. Pendiri Kerajaan Mataram yang berpusat di Jawa Timur adalah Pu
Sindok yang masih keturunan dari wangsa Sailendra. Pu Sindok mendirikan wangsa
baru dan dikenal dengan wangsa Isana.
Setelah Pu Sindok,
sejarah wangsa Isana mulai tercatat dengan munculnya tokoh-tokoh utama seperti
Dharmmawangsa, Airlangga, dan seterusnya. Satu hal yang menjadi ciri cerita
Sejarah di Jawa Timur ini adalah munculnya Kerajaan Panjalu atau Kadiri dan Kerajaan Jenggala.
Ciri utama yang lain adalah adanya kemajuan yang pesat di dalam kebudayaan
Jawa, khususnya bidang kesusastraan.
1.
WANGSA
ISANA
1.1. Asal-usul Wangsa Isana
Istilah wangsa Isana dijumpai dalam prasasti
Pucangan (bagian berbahasa Sanskerta), dikeluarkan oleh Raja Airlangga tahun 963 Saka (1041 M).
Dimuat silsilah Raja Airlangga,
mulai dari Raja Sri Isanatungga (Pu Sindok).
Pu Sindok mempunyai anak perempuan Sri Isanatunggawijaya menikah dengan Sri Lokapala, mempunyai anak Sri
Makutawangsawarddhana (dalam bait ke-9 sengaja disebut keturunan wangsa
Isana. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:185).
Pendiri wangsa Isana adalah Pu Sindok Sri Isanawikramma Dharmmotunggadewa.
Kedudukan Pu Sindok dalam masa
pemerintahan Rakai Layang dyah Tlodhong
berturut-turut sebagai rakryan mapatih i
halu dan rakryan mapatih i hino,
diketahui bahwa Pu Sindok masih
keturunan wangsa Sailendra. Karena Mataram Jawa Tengah mengalami kehancuran
yang disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang mahadahsyat (sebagai peristiwa pralaya/kehancuran dunia pada akhir masa
Kaliyuga), maka harus dibangun
kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Oleh karena itu, Pu Sindok yang membangun kembali
kerajaan di Jawa Timur, sebagai wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Prasasti
Paradah tahun 865 Saka (943 M) dan prasasti Anjukladang tahun 859
Saka (937 M) menyebutkan bahwa nama kerajaan yang baru tersebut tetap Mataram,
dengan ibukota yang pertama adalah Tamwlang (terdapat pada akhir prasasti
Turyyan tahun 851 Saka/929 M). Letak Tamwlang, yang hingga kini di dalam
prasasti Turyyan itu saja, mungkin di dekat Jombang sekarang, di sana masih ada
Desa Tambelang. Sejarah Nasional
Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:185-186).
Kedudukan Pu
Sindok dalam keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram itu memang
dipermasalahkan. Akan tetapi, Pu Sindok
pernah memangku jabatan rakai Halu dan Rakryan Mapatih i Hino, yang menunjukkan
ia pewaris takhta kerajaan yang sah siapapun ayahnya. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:186).
Pu Sindok sekurang-kurangnya memerintah sejak tahun
929 M – 948 M. Dalam masa pemerintahannya ditemukan ±20 prasasti yang sebagian
besar tertulis di atas batu. Silsilah Raja Dharmmawangsa Airlangga terdapat
pada prasasti Pucangan. Sejarah
Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:187).
Tempat pendarmaan Pu Sindok disebut dalam prasasti Kamalagyan dan dalam prasasti
Pucangan, yaitu Isanabhawana.
Menunjukkan bahwa Pu Sindok
benar-benar ada dalam sejarah karena di dalam masyarakat Jawa Kuno rasanya
tidak mungkin orang menyebut bangunan suci tempat memuja arwah seseorang kalau
tokohnya dan bangunan suci itu tidak benar-benar ada. Sejarah Nasional Indonesia
“Jilid II” (Edisi Pemutakhiran,
2010:187).
Sebagian besar prasasti Pu Sindok berkenaan dengan penetapan sima (= tanah yang diberikan raja atau penguasa kepada masyarakat
yang dianggap berjasa) bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas permintaan
pejabat atau pemerintah desa.
§ Prasasti
Linggasutan tahun 851 Saka (929 M). Raja telah
memerintahkan agar Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung,
dengan penghasilan pajak sebanyak 3 (?) emas dan kewajiban kerja bakti seharga
2 masa setiap tahunnya.
§ Prasasti
Anjukladang tahun 859 Saka (937 M) dikatakan bahwa
Raja Pu Sindok telah memerintahkan agar tanah sawah kakatikan (?) di Anjukladang dijadikan sima, dan dipersembahkan kepada bathara di sang hyang prasada
kabhaktyan di Sri Jayamerta, dharmma dari Samgat Anjukladang.
§ Prasasti
Muncang tahun 866 Saka (944 M) juga dijumpai Bathara i
Walandit. Di dalam prasati ini diperingati perintah raja untuk menetapkan
sebidang tanah di sebelah selatan pasar di Desa Muncang yang masuk wilayah
Rakryan Hujung menjadi sima oleh
Samgat (...) Dang Acaryya Hitam, untuk mendirikan prasada kabhaktyan bernama Siddhayoga, tempat para pendeta
melakukan persembahan kepada bhatara setiap hari, dan mempersembahkan bunga
kepada bhatara di Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit.
§ Prasasti
Gulung-gulung tahun 851 Saka (929 M), Rakryan Hujung
(Pu Madhuralokaranjana) mohon kepada raja agar diperkenankan menetapkan sawah
di Desa Gulung-gulung dan sebidang hutan di Bantaran menjadi sima, dengan tujuan menjadikan tanah
wakaf (dharmmaksetra) berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung yaitu
mahaprasada di Himad.
§ Prasasti
Jeru-jeru tahun 852 Saka (930 M) Rakryan Hujung kepada raja
agar diperkenankan menetapkan Desa Jeru-jeru yang merupakan anak Desa
Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung sendiri, menjadi tanah wakaf berupa
sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung, yaitu Sang Sala di Himad.
§ Prasasti
Himad/Walandit (tidak berangka tahun), dikeluarkan
pada waktu Gajah Mada menjabat rakryan
mapatih di Janggala dan Kadiri. Menyebutkan tentang persengketaan antara
penduduk Desa Walandit dengan penduduk Desa Himad mengenal status dharma kabuyutan di Walandit, yang oleh
penduduk Desa Walandit dikatakan
berstatus swatantra, dan berhak penuh atas Desa Walandit, sebagaimana telah
dikukuhkan oleh prasasti yang bercap kerajaan Pu Sindok.
§ Prasasti
Muncang menyebutkan sang hyang swayambhuwa i walandit,
bangunan suci diidentifikasi dengan suatu candi untuk pemujaan Gunung Bromo,
karena Swayambhu adalah nama lain dari Dewa Brahma, dan kenyataan bahwa Desa
Wonorejo tidak seberapa jauh dari Gunung Bromo itu.
§ Prasasti
Turyyan tahun 851 Saka (929 M) memberi keterangan tentang
permohonan Dang Atu pu Sahitya untuk memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan
bangunan suci. Prasati Turyyan hingga kini masih di tempat aslinya, yaitu di
Dukuh Watu Godeg, Kelurahan Tanggung, Kecamatan Turen (nama asli), Kabupaten
Malang.
§ Prasasti
Wulig tahun 856 Saka (935 M), memperingati pembuatan
bendungan. Disebutkan perintah Rakryan Binihaji Rakryan Mangibil
(permaisuri/salah seorang selir Pu Sindok), kepada Samgat Susuhan agar
memerintahkan penduduk Desa Wulig; Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran,
dan Busuran untuk membuat bendungan.
§ Prasasti
Geweg tahun 855 Saka (933 M) dan prasasti Cunggrang
tahun 851 Saka ( 929 M). Di dalam
prasasti Geweg, Pu Sindok tidak memakai gelar maharaja, tetapi rakryan sri
mahamantri dan sang permaisuri disebut Rakryan Sri Parameswari Sri
Warddhani pu Kbi. Di dalam prasasti Cunggrang, sang permaisuri disebut
Rakyan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kbi. Diperingati perintah Pu Sindok untuk
menetapkan Desa Cunggrang yang masuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan
langsung dari Wahuta Wungkal menjadi sima
bagi pertapaan di Pawitra dan bagi ayah dari permaisuri raja yang bernama Dyah
Kebi.
§ Prasasti
Kanuruhan tahun 856 Saka (935 M) yang dipahatkan di belakang sandaran sebuah arca Ganesha, dan
keadaannya terputus di bagian atas sebelah kiri. Prasasti ini memperingati
penetapan sima yang bukan atas
perintah raja, melainkan oleh Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpah.
§ Prasasti
Waharu IV tahun 853 Saka (931 M), dikatakan bahwa penduduk
Desa Waharu telah mendapat anugerah raja, karena penduduk Desa Waharu di bawah
pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja, ikut berusaha agar
raja menang dalam peperangan, dan mengerahkan senjata, tanpa ingat siang
ataupun malam dalam mengikuti bala tentara raja, sambil membawa panji-panji dan
segala macam bunyi-bunyian, pada waktu raja hendak membinasakan musuh-musuhnya
yang dianggap sebagai perwujudan kegelapan. Dalam prasasti ini peristiwa di
bidang politik yang terdapat di dalam prasati Pu Sindok hanya samar-samar,
karena memang tidak ada peristiwa politik yang dijelaskan dalam prasasti Pu
Sindok tersebut.
§ Prasasti
Sumbut tahun 855 Saka (933 M) memberi keterangan bahwa Pu
Sindok telah memberi anugerah sima
Desa Sumbut kepada Sang Mapanji Jatu Ireng, yang telah berjasa ikut menghalau
musuh bersama penduduk Desa Sumbut, dengan tujuan agar kedudukan raja di atas
singgasana dapat langgeng. Sejarah Nasional
Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:187-195).
Perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu
disertai dengan penaklukan-penaklukan. Hal ini dapat dipahami karena sejak
Rakai Watukura dyah Balitung kekuasaan kerajaan Mataram telah meluas ke Jawa
Timur. Adanya prasasti Waharu dan prasasti Sumbut memang
menggambarkan kemungkinan tersebut.
Seperti telah disebutkan, ibukota kerajaan yang pertama terletak di Tamwlang.
Tetapi, di dalam prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang ibu
kota kerajaan disebutkan ada di Watugaluh (Desa Watugaluh, dekat Jombang di
tepi Kali Brantas). Sejarah Nasional
Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:197).
Prasasti Anjukladang
menyebutkan adanya Candi Lor (lihat Gambar 01)
dan
sekarang di dekat Berbek, Kabupaten Nganjuk ada reruntuhan candi. Di dekat
lokasi prasasti Cunggrang di lereng timur Gunung Penganggungan ditemukan
beberapa peninggalan tempat pemandian, antara lain di Belahan, yang tidak jauh
dari lokasi prasasti. Sejarah Nasional
Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:195).
1.2. Dharmmawangsa Teguh
Ketika Dharmmawangsa dinobatkan menjadi raja
Mataram, ia diberi gelar Sri
Dharmmawangsa Tguh Anantawikrama. (Zaman
Mataram Kuna, 2:8). Setelah pemerintahan Pu Sindok ada masa gelap sampai
masa pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga. Dalam masa 70 tahun itu tercatat
hanya tiga prasasti yang berangka tahun.
§ Prasasti
Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M), berisi keterangan tentang
pemberian tanah sima oleh Pu Mano,
yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya, terletak di Desa Hara-Hara, di
sebelah selatan perumahannya, kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku di
Nairanjana yang bernama Mpu Buddhiwala, untuk digunakan sebagai tempat mendirikan
bangunan suci.
§ Prasasti
Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M). Memuat anugerah raja
/?/ kepada Samgat Kanuruhan pu Burung berupa sima di Desa Kawambang Kulwan, agar Sang Pamgat Kanuruhan
mendirikan suatu bangunan suci pemujaan dewa.
§ Prasasti
Lucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). Berisi peristiwa unik
yang diperingati, yaitu perbaikan jalan oleh Samgat Lucem pu Ghek (atau Lok),
dan penanaman pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet. Sejarah Nasional Indonesia
“Jilid II” (Edisi Pemutakhiran,
2010:196-197).
Hanya dari prasasti
Pucangan diketahui bahwa Pu Sindok
mempunyai anak perempuan yang cantik karena kesucian hatinya, bagaikan angsa
betina yang bersayap yang tinggal di Danau Manasa yang permai, nan indah, yang
senantiasa amat dicintai oleh raja sekalian angsa, yang memerintah sebagai ratu
dengan nama Sri Isanatunggawijaya. Ia
bersuamikan raja Sri Lokapala, raja
yang bijaksana, memesonakan, dan termasyhur karena kesucian budinya. Mereka
berputra Sri Makutawangsawarddhana, putra wangsa Isana, amat masyhur karena
keberaniannya. Ia mempunyai anak perempuan yang amat cantik, yang merupakan
kebahagiaan Pulau Jawa (Gunapriyadharmmapatni/
Mahendradatta), menikah dengan Udayana.
Mereka mempunyai anak laki-laki yang tampan bernama Erlanggadewa bagaikan Rama yang terlahir dari Dasaratha. Dari abad
X M muncul beberapa keterangan sejarah. Kitab Wirataparwwa tahun 918 Saka (996 M). Sejarah
Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:197).
Dalam catatan sejarah, Prabu
Dharmmawangsa memerintah Kerajaan Mataram dimulai pada tahun 991 M dan berakhir
dengan peristiwa menyedihkan yaitu peristiwa pralaya, tahun 1017 M. Pada pemerintahan Dharmmawangsa, kerajaan
Mataram mencapai kejayaan. Ia merupakan seorang raja Mataram pertama yang
mengirimkan utusan ke negeri Cina, dengan tujuan menjalin hubungan dagang
(bidang hubungan internasional). Di bidang kesusastraan dibuktikan dengan
diperintahkannya para pujangga istana agar menyalin kitab Mahabarata ke dalam bahasa Jawa Kuno. Pengarang kitab ini adalah Wyasa atau Abyasa (dalam bahasa Jawa). Kitab Mahabarata berisi syair-syair
tentang dewa-dewi yang digubah dengan indah nan halus. (Zaman Mataram Kuna, 2:10).
Raja Dharmmawangsa
sangat berambisi meluaskan wilayahnya. Saingan utama Mataran adalah Kerajaan
Sriwijaya. Hal inilah yang menyebabkan Raja Dharmmawangsa memerangi Kerajaan
Sriwijaya. Pada tahun 990 M Raja Dharmmawangsa mengirimkan bala-tentaranya yang
terpilih menuju ke Kerajaan Sriwijaya. (Zaman
Mataram Kuna, 2:8). Ekspedisi ini meninggalkan bukti berupa prasasti batu,
yaitu prasasti Hujung Langit (Bawang) di daerah Sumatra Selatan tahun
919 Saka (997 M), yang berbahasa Jawa Kuno. Sejarah
Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:200).
Tahun 1016 M, Kerajaan
Mataran tiba-tiba saja diserang oleh musuh. Serangan yang tiba-tiba itu,
dibantu sepenuhnya oleh penguasa Sriwijaya yang merasa tidak senang atas
perlakuan Raja Dharmmawangsa terhadap Sriwijaya. Perasaan dendam yang lama
tersimpan mencapai puncaknya ketika Sang Raja Dharmmawangsa tengah mengadakan
pesta besar-besaran di keraton. Kalangan istana terlena oleh luapan
kegembiraan. Putri kesayangan Dharmmawangsa tengah melangsungkan pesta
perkawinan dengan seorang pangeran muda Airlangga. Tanpa diduga terjadi
keributan di istana, yang tidak lain dilakukan oleh seorang raja bawahan
Mataram sendiri, yaitu Haji Wurawuri yang merasa sakit hati karena tidak
berhasil menjadi menantu Dharmmawangsa. Begitu hebatnya keributan tersebut,
kerajaan Mataram digambarkan mengalami kehancuran. (Zaman Mataram Kuna, 2:8-9). Prasasti Pucangan, baik yang
berbahasa Sanskerta maupun yang berbahasa Jawa Kuno, memberitakan tentang
keruntuhan itu. Bagian yang berbahasa Sanskerta mengatakan bahwa tidak lama
sesudah perkawinan Airlangga dengan putri Teguh, ibu kota kerajaan yang sekian
lama melebihi keindahan istana Dewa Indra, hancur menjadi abu. Karena ulah Dewi
Kali itu, Airlangga masuk hutan tanpa diiringi hamba-hambanya, kecuali
Narottama. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno mengatakan sebab-sebab mengapa Raja
Dharmmawangsa Airlangga menetapkan desa-desa Barahem, Pucangan, dan Bapuri
menjadi sima untuk tempat mendirikan
pertapaan bagi para resi, bahwa hal itu telah dinazarkan oleh Sri Baginda pada
waktu Pulau Jawa mengalami pralaya
pada tahun 939 Saka (1017 M), yaitu pada waktu Haji Wurawari maju menyerang
dari Lwaram. Sejarah Nasional Indonesia
“Jilid II” (Edisi Pemutakhiran,
2010:201).
Akhir masa pemerintahan
Dharmmawangsa Teguh itu, yaitu karena diserang oleh raja bawahan dari Wurawuri.
Karena serangan Haji Wurawuri itu terjadi tidak lama sesudah perkawinan
Airlangga dengan putri Teguh, dapat diperkirakan bahwa mungkin sekali ia
berambisi untuk mendampingi putri mahkota menggantikan Teguh di atas takhta
kerajaan. Seperti yang dapat dilihat dari prasasti Pucangan, Dharmmawangsa
Teguh dicandikan di Wwatan. Sekarang masih ada di Desa Wotan di daaerah
Kecamatan Maospati (Madiun). Sejarah Indonesia Kuno “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:201-202).
1.3. Airlangga
Pada waktu serangan
Raja Wurawari, Airlangga baru berumur enam belas tahun dan sedang merayakan
pernikahannya dengan putri Raja Dharmmawangsa Teguh. Pada waktu penghancuran
keraton, Airlangga dan pengikutnya berhasil menyelamatkan diri dengan masuk ke
dalam hutan. Airlangga dan pengikutnya hidup sebagai pertapa. Dari perjuangan
Airlangga beberapa tahun kemudian, keadaan di Jawa Timur mengalami pecah belah
selama Airlangga menjadi seorang pertapa. (Casparis,1958:1-5). Prasasti
Pucangan menyebutkan bahwa Dharmmawangsa Airlangga dapat menyelamatkan diri
dari serangan Haji Wurawari, dan masuk hutan dengan hanya diikuti oleh seorang
hambanya bernama Narottama. Ketika itu, Airlangga baru berusia 16 tahun
sehingga belum banyak pengalaman dalam peperangan dan belum begitu mahir
menggunakan senjata. Namun, karena ia penjelmaan Wisnu, ia tidak dapat binasa
oleh kekuasaan mahapralaya. Selama di
hutan, Airlangga tidak pernah melupakan pemujaan terhadap dewa-dewa siang dan
malam. Sejarah Nasional Indonesia
“Jilid II” (Edisi Pemutakhiran,
2010:203).
Pada tahun 941 Saka
(1019 M) ia direstui oleh para pendeta Siwa, Buddha, dan Mahabrahmana sebagai
raja dengan gelar Rake Halu Sri Lokeswara
Dharmmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa, karena dinobatkan di Halu setelah membuat patung
piutnya yang dicandikan di Isanabajra. Mengenai masa pemerintahan Dharmmawangsa
Airlangga lebih banyak didapatkan keterangan karena banyak prasasti yang
ditemukan kembali, meskipun belum seluruhnya diterbitkan. Sejarah
Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:204).
Prasasti pucangan
yang berbahasa Sanskerta memuat silsilah Airlangga, dan silsilah itu memang
dibuat oleh para pujangga untuk memberi pengesahan kepadanya. Andaikata tidak
terjadi serangan Haji Wurawuri yang menyebabkan kehancuran pusat kerajaan
Medang, barangkali silsilah itu tidak perlu dibuat, karena ia dapat
menggantikan duduk di atas singgasana kerajaan mendampingi permaisurinya yang
memang pewaris takhta. Sejarah Nasional
Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:204).
Pada tahun 943 Saka
(1021 M), Raja Airlangga telah memberi anugrah sima kepada penduduk Desa Cane karena mereka telah berjasa menjadi
“benteng” di sebelah barat kerajaan, senantiasa memperlihatkan ketulusan
hatinya mempersembahkan bakti kepada raja, tiada gentar mempertaruhkan jiwa
raganya dalam peperangan, agar Sri Maharaja memperoleh kemenangan. Raja juga
memberi anugrah kepada Dyah Kaki Ngadu Lengen berupa penetapan desa Kakurugan
sebagai sima, ditambah dengan
bermacam-macam hak istimewa, karena ia telah memperlihatkan kebaktian yang amat
tinggi terhadap raja, tidak pernah segan-segan menjalankan segala perintah
raja, tanpa pandang hujan ataupun panas, seolah-olah dijadikan kaki dan tangan
Sri Maharaja. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:205).
Prasasti Pucangan
memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan raja atas musuh-musuhnya
mulai tahun 951 Saka (1029 M) sampai tahun 959 Saka (1037 M). Pertama,
Airlangga menyerang ke Wuratan dan mengalahkan rajanya yang bernama Wisnuprabhawa
pada bulan Phalguna tahun 951 Saka (15 Februari 1030 M). Raja ini adalah anak dari
seorang raja yang ikut menyerang Dharmmawangsa Teguh hingga terjadi pralaya. Tahun berikutnya (952 Saka=
1030 M) raja mengalahkan Haji Wengker, yang bernama Panuda yang hina seperti
Rawana. Pada tahun 954 Saka (1032 M)
tiba giliran Haji Wurawuri mendapat serangan Airlangga. Raja dengan diiringkan
oleh Rakryan Kanuruhan Pu Narottama dan Rakryan Kuningan Pu Niti menyerbu dari
Magehan (Magetan?). Dengan dikalahkannya Haji Wurawuri itu lenyaplah
segala perusuh di tanah Jawa. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:205-206).
Pada tahun yang sama
ada peristiwa lain, yaitu kekalahan yang dialami Airlangga, sehingga ia
terpaksa meninggalkan keratonnya ke Wwatan Mas dan melarikan diri ke Patakan.
Peristiwa itu diperingati pada prasasti Terep tahun 954 Saka (21 Oktober
1032 M). Dalam prasasti itu dikatakan bahwa raja telah memberikan anugerah
kepada Rakai Pangkaja dyah Tumambong, adik raja sendiri karena telah berjasa
pada waktu raja harus menyingkir dari Wwatan Mas ke Patakan. Di Desa Terep
Rakai Pangkaja bersembunyi dan menemukan arca Bhatari Durga. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:206-207).
Dalam prasasti Baru
tahun 952 Saka (28 April 1030 M), terdapat peristiwa yang tidak dicantumkan
dalam prasasti Pucangan, yaitu ditaklukan dan dibunuhnya Raja Hasin.
Dikatakan pula bahwa raja telah memberikan anugerah rakyat Desa Baru dengan
menetapkan Desa Baru sebagai sima. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:207).
Haji Wengker
memberontak lagi. Baru pada tahun 959 Saka ia dapat ditangkap di Kapang. Raja
Airlangga dengan tentaranya yang terbilang tidak banyak menyerbu ke arah barat
pada tahun 957 Saka (20 Agustus 1035 M). Raja yang diserbu bernama
Wijayawarmma. Akan tetapi, baru pada
tahun 959 Saka (10 November 1037 M) raja Wijayawarmma ditangkap oleh rakyatnya
sendiri lalu dibunuh. Seminggu setelah terbunuhnya raja Wijayawarmma dari
Wengker Airlangga mengadaka pasowanan
besar dengan dihadap oleh semua raja bawahan yang telah berhasil ditaklukannya
lagi. Sehari sesudah itu keluarlah prasasti Kamalagyan untuk
memperingati pembuatan bendungan di Waringin Sapta. Tindakan pembuatan
bendungan karena Bengawan (Brantas) seringkali menjebolkan tanggul di Waringin
Sapta, sehingga banyak desa-desa di bagian hilir yang kebanjiran. Bendungan di
Waringin Sapta itu disebut dengan bendungan Sri Maharaja. Seperti yang telah
disebutkan, bahwa prasasti Kamalagyan dikeluarkan hanya seminggu tambah
sehari setelah Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wijayawarmma, raja terahir
yang belum tunduk. (lihat Gambar 02 dan Gambar 03). Sejarah Nasional Indonesia
“Jilid II” (Edisi Pemutakhiran,
2010:208-210).
Keterangan menarik dari
prasasti Kamalagyan adalah bahwa ketentuan-ketentuan mengenai
pengurangan pajak itu berlaku sejak Airlangga bertakhta di Kahuripan. Prasasti
Cane menyebutkan bahwa penetapan Desa Cane sebagai sima berlaku surut sejak raja bertakhta di Wwatan Mas. Prasasti
Terep menyebutkan peristiwa serangan musuh sehingga Airlangga terpaksa
meninggalkan Wwatan Mas dan lari ke Patakan. Pusat kerajaan Airlangga adalah di
Wwatan Mas itu. Akan tetapi, setelah tahun 1032 M diserbu musuh, raja
memindahkan pusat kerajaannya ke Kahuripan. Pada prasasti Pamwatan tahun
964 Saka (19 Desember 1042 M) dituliskan dengan huruf kuadrat yang besar di
sisi depan atas kata dahana, yang
mungkin menunjukkan nama pusat kerajaan yang baru lagi, yaitu Dahanapura. Pusat
kerajaan Airlangga yang terakhir ialah Dahana, dapat dipahami karena setelah
kerajaan dibagi dua, bagian yan pertama disebut Pangjalu dengan pusat di Daha,
sedang bagian yang kedua disebut Janggala. Prasasti Turun Hyang A
tahun 958 Saka (1036 M) menyebutkan bahwa tidak ada lagi musuh, karena itu
Airlangga menepati janjinya untuk menetapkan Desa Turun Hyang menjadi sima. Keterangan ini bertentangan dengan
prasasti Pucangan, yang menyebutkan pada tahun 959 Saka (1037 M) Raja
Wijayawarmma dibunuh, sehingga Airlangga dapat duduk di atas singgasana dengan
meletakkan kakinya di atas kepala musuh-musuhnya. Prasasti Pucangan yang
mengatakan bahwa Wijayawarmma, Haji Wengker telah ditaklukan tahun 957 Saka, dan
lari meninggalkan istananya, disebutkan di situ pula pembuatan pertapaan yang
diberi nama Sri Wijayasrama. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:211).
Mulai dari prasasti
Cane sampai dengan prasasti Kamalagyan menyebutkan sebagai rakryan mahamantri i hino seorang putri,
Sri Sanggramawijaya Dharmmaprasadotunggadewi. Di dalam prasasti Pucangan
dan prasasti Pandan tahun 964 Saka (19 Desember 1042 M) yang menjabat hino adalah Sri Samarawijaya
Dhamasuparnnawahana Teguh Uttunggadewa, seorang laki-laki. Suatu hal yang
menarik adalah Samarawijaya memakai nama dengan unsur Teguh. Raja Jayawarsa
Digjaya Sastraprabhu, yang dalam prasasti Sirahketing tahun 1204 M
menyebut dirinya cucu atau keturunan anak Dharmmawangsa Teguh. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010:212).
Airlangga mempunyai
seorang pujangga yang ulung. Karya sastra pada pemerintahan Airlangga, yaitu
kitab Arjunawiwaha. Berisi gubahan
dari satu episode Mahabharata. Bahasa
dari kitab Arjunawiwaha terindah di
antara karya-karya sastra Jawa Kuno, di samping kitab Ramayana Kakawin.
2.
KEADAAN
MASYARAKAT
Dalam kenyataan stratifikasi
sosial, masyarakat Jawa Kuno bersifat kompleks dan tumpang tindih. Seperti yang
disebutkan bahwa dari seorang kasta brahmana, kasta yang tertinggi dapat
menduduki jabatan dalam struktur birokrasi tingkat pusat atau tingkat watak,
dapat juga di tingkat desa(wanua),
tetapi dapat juga tidak mempunyai suatu jabatan. Ada juga orang dari kasta
ksatria yang dapat menduduki jabatan keagamaan di tingkat pusat, seperti sang pamgat tiruan dan dapat juga
menjadi seorang petapa dan tinggal di suatu biara. (Soejono, 2010:214)
Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota
kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan
batang kayu. Di dalam istana berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di
luar istana (masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para
pejabat tinggi kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka
tinggal dalam perkampungan khusus di mana para hamba dan budak yang
dipekerjakan di istana juga tinggal sekitarnya. (Suwito, dan Darmawan,2012).
Menurut berita-berita
Cina, raja setiap hari mengadakan pertemuan dengan putra mahkota. Dalam
pertemuan semacam itu perintah raja diturunkan melalui putra mahkota yang
meneruskan kepada para pejabat tinggi kerajaan. Mereka itu menyampaikan
perintah raja kepada utusan daerah yang datang menghadap dan mengajukan suatu
permohonan kepada raja. Biasanya raja mengambil keputusan setelah mendengar
pendapat dari para pejabat yang hadir. Seperti yang di kemukakan dalam prasasti
Sarwadharmma tahun 1269 M. Di dalam prasasti ini di peringati permohonan
rakyat dari desa-desa agar tidak perlu lagi membayar bermacam-macam pungutan.
(Soejono, 2010:215).
Sumber-sumber berita Cina juga mengungkapkan
keadaan masyarakat Mataram dari abad ke-7 sampai abad ke-10. Berita ini
mengungkapkan tentang perdagangan baik di dalam maupun luar negri berlangsung
ramai. Hal ini terbukti dengan ditemukannya barang-barang keramik dari Vietnam
dan Cina. Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi Tang yang
menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa, dalam hal ini Mataram. (Suwito dan Darmawan, 2012).
Selain ibu kota kerajaan dan kota-kota yang merupakan pusat
wilayah watak, tentunya dahulu ada juga kota pelabuhan. Menurut prasasti
Kamalagyan, pelabuhan Hujung Galuh selalu ramai dikunjungi perahu-perahu
dagang dari pulau lain. Tidak hanya pedagang dari pulau lain di Nusantara,
tetapi juga dari kerajaan lain di luar Nusantara. (Soejono, 2010:219).
Di luar kota terdapat desa-desa yang diatur oleh para
pejabat. Penduduk desa umumnya hidup dari bertani, berdagang kecil-kecilan, dan
mengusahakan kerajinan rumah. Adanya kelompok-kelompok pemukiman itu tidak saja
tebawa oleh unsur-unsur geografis dan ekologis, tetapi juga karena adanya sistem
pemukiman. Beberapa prasasti menyebut dengan istilah panaturdesa dan pangastadesa,
yaitu kelompok desayang terdiri dari 5 desa dan 9 desa (empat desa
mengelilingi desa induk, dan 8 desa mengelilingi desa induk. (Soejono,
2010:220)
2.1. Landasan
Kosmogonis
Landasan kosmogonis, yaitu kepercayaan akan harus adanya
sesuatu keserasian antara dunia manusia ini (mikrokosmos) dengan alam semesta
(makrokosmos). Menurut kepercayaan ini manusia selalu berada dibawah pengaruh
kekuatan-kekuatan yang terpancar dari bintang-bintang dan planet-planet.
Kekuatan itu dapat membawa kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian atau
bencana kepada manusia, tergantung dari atau tidaknya individu,
kelompok-kelompok social, terutama kerajaan, menyerasikan hidup dan semua
kegiatannya dengan gerak alam semesta. (Soejono, 2010:223).
Zaman Mataram Kuno tidak ada satu pun naskah tentang teori
ketatanegaraan. Meskipun demikian, ada juga beberapa petunjuk tentang adanya
konsep kosmogonis yang melandasi struktur kerajaan Mataram Kuno. Di dalam prasasti
Canggal dikatakan tentang Raja Sanjaya bahwa ia sebagaimana Raja, telah
menaklukan raja-raja tetangga yang mengelilinginya. Sumber lain ialah
berita Cina dari zaman dinasti T’ang. Berita ini mengatakan bahwa di
sekelilingnya ada 28 kerajaan- kerajaan kecil, dan tidak ada satu pun yang
tidak tunduk. (Soejono, 2010:225).
2.2.
Struktur
Birokrasi
Dalam
struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja (sri maharaja) ialah penguasa tertinggi. Sesuai dengan landasan
kosmologis, raja adalah penjelmaan dewa yang berada di dunia. Gelar abhiseka dan pujian-pujian kepada raja tercantum
dalam prasasti dan kitab-kitab suasastra Jawa Kuno masa pemerintahan Raja
Airlangga. Salah satunya dalam naskah Ramayana
Kakawin, yang berisi tentang uraian rajadharmma
(tugas kewajiban seorang raja). Diketahui bahwa dalam diri seorang raja berpadu
dengan 8 dewa, yaitu Indra, Yama, surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Sejarah Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi Pemutakhiran, 2010:227).
Dalam
keterangan diatas dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga,
ia merupakan seorang raja yang dipercayai sebagai penjelmaan dewa. Juga raja
harus teguh kepada Dharmma, adil,
tegas dengan menghukum yang bersalah dan memberi penghargaan kepada siapa yang
berjasa, bijaksana, tidak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan,
waspada terhadap keadaan rakyatnya apakah terjadi gejolak-gejolak yang
mencurigakan, berusaha member ketentraman dan kebahagiaan kepada rakyatnya,
wibawa dengan menunjukan kekuatan angkatan perangnya dan harta kekayaannya.
Raja
sebagai dewa sebenarnya kedudukannya tidak dapat diganggu gugat, karena sebagai
dewa yang ditinggikan maka tidak dapat diragukan kebenarannya, mamun jika
terjadi penggulingan kekuasaan oleh bawahannya atau raja dari mandala , dapat diketahui akan terjadi
kehancuran pada zaman tersebut dan kejadian tersebut tidak terelakkan lagi. Hal
tersebut terjadi pada kerajaan Dharmmawangsa
Teguh yang diserang oleh Haji Wurawari pada tahun 1016 M yang disebut dengan
istilah paralaya dalam prasasti
Pucangan. Namun Dharmmawangsa Airlangga dapat mendirikan kerajaan yang telah
runtuh tersebut dengan penjelmaan sebagai Wisnu, sehingga tidak binasa karena
kekuasaan mahaparalaya.
Sering
terjadi perebutan kekuasaan tang mengakibatkan perang antar saudara, sebenarnya
dalam kerajaan telah ada ketentuan mengenai hak pewaris takhta kerajaan, yakni
yang pertama berhak menggantikan duduk di takhta kerajaan ialah anak raja yang
lahir dari prameswari , dapat juga
adik, kemenakan, paman, atau kerabat dekat yang lain, asal masih seketurunan secara
langsung. Selain itu masih ada dua orang lagi yang berhak atas takhta, yaitu rakarayan i dan halu rakarayan i sirikan.
Dalam
prasasti dari zaman pemerintahan Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura, di jumpai
penjabar yang kedudukannya setingkat dengan para putra raja, yaitu pamgat tiruan atau penjabat keagamaan.
Namun dari prasasti pada zaman Rajakula Rajasa pamangat tiruan merupakan upati
atau penjabat kehakiman, dan juga ada yang lain yang kedudukannya sama dengan
anak raja yaitu hino, halu, sirikan, dan
wka. Selain lima orang tadi disebutkan, ada duabelas orang penjabat
lainnya, yaitu rake halaran, rake
pangilhyang, rake wlahan, pamgat manghuri, rake langka, rake tanjung, pangkur,
tawan, tirip, pamgat wadihati, dan pamgat makudur. Namun tugas yang diemban
mereka masih belum diketahui.
Dari penjabat tinggi kerajaan, dapat diketahui pembagian pasak yang mereka terima, yaitu dibagi
menjadi dua jenis dimana rakai pagarwsi
berada dalam dua kelompok tersebut. Sehingga dapat diketahui dapat disebut
kelompok satu, dan dapat disebut juga kelompok kedua. Namun masih ada satu
penjabat lagi yang dijumpai dalam prasasti Balingawan pada tahun 891 M, dan
prasasti lainnya yang ditemukan di Jawa Timur, yaitu rakryan kanuruhan. Rakryan
kanuruhan mulai tampak perannya pada pemerintahan zaman Pu Sindok, dan pada
zaman Darmmawangsa Airlangga ia merupakan penjabat yang penting sesudah para
putra raja.
Namun,
untuk mengatahui berapa jumlah keseluruhan pekerja atau jabatan dalam Wangsa
Isana belum diketahui dengan jelas, karena dalam prasasti yang diketemukan
berbeda-beda dalam penyebutan jumlah pekerja sipil dan pekerja yang lebih
rendah lainnya. Karena dalam prasasti tidak disebutkan dengan gamblang,
dikarenakan dalam prasasti hanya menuliskan sesuatu yang penting, sehingga
dalam prasasti tidak ditemukan dengan jelas dan pasti tentang jabatan dan
berapa jumlahnya.
2.3. Sumber Penghasilan Kerajaan
Penghasilan kerajaan diperoleh dari
pajak yang dipungut dari desa-desa setempat. Dalam pemungutan pajak dalam
desa-desa dilakukan oleh petugas khusus, yaitu penjabat ditingkat watak yang bisebut pangurang yang memungut pajak pada desa-desa tersebut. Dengan
melalui penguasa daerah (rakai dan pamgat atau samya haji) hasil pajak yang disetorkan setelah panen, dalam dua
kali setahun, pada bulan Oktober sampai November. Setelah pemungutan pajak,
selanjutnya untuk dicatat terlebih dahulu, kepada petugas pencatat luas
pembagian tanah di seluruh kerajaan dan ketetapan pajaknya, dengan tujuan dalam
suatu daerah atau sebidang tanah di suatu daerah yang ditetepkan menjadi sima, dengan setoran pajak (pangguhan)
yang ditentukan jumlahnya, yaitu sebanyak sekian mata uang emas atau perak, dan
juga dalam suatu daerah tersebut wajib menyetorkan beberapa orang sebagai
pekerja bakti setiap tahunnya. Dalam kewajiban kerja bakti (gawai) tersebut sering juga dinilai
dengan uang yang tertera dalam prasasti
Sugihmanek.
Namun yang dimaksud pangguhan merupakan hasil bumi yang
tertera pada banyak prasasti. Dalam berita Cina rakyat harus membayar 10% dari hasil tanahnya, dengan
menentukan seberapa luas bidang tanahnya (Groeneveldt, 1969: 16). Di samping
pajak bumi, juga ada pajak perdagangan yang dikenakan pedagang (masamwyawahara) dan pengrajin pajak
usaha yang dikenakan pada para pengrajin (misra).
Dengan ketentuan pajak tertentu, yaitu untuk pengrajin, pajaknya dibagi
tiga. Jika dalam daerah tersebut termasuk daerah sima itu diperuntukan untuk bangunan suci, maka sepertiga dari
pungutan pajak diberikan kepada bhatara, dan
sepertiga lagi untuk pengelola sima
dan sepertiga lagi masuk ke kas kerajaan yang tercantum pada prasasti
Linggasutan.
Dalam beberapa prasasti
ada juga yang menyebutkan bahwa, ada pungutan yang ditentukan atas setiap pintu
(ring salawang salawang) yan dijumpai
dalam prasasti Watukura tahun 824 Saka. Ada juga yang menyebut pungutan
berupa persembahan bunga (pangraga sakar)
yang harus diserahkan tiap bulan purnama di bulan Jyestha (bulan Juni) dan
bulan Caitra (April). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa dalam
proses pemungutan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak, berarti pada
masa tersebut sudah ada sensus penduduk, yang telah terdaftar dan tertulis secara
rinci.
Pemungutan pajak juga
berlaku pada orang-orang asing yang menetap di Jawa sebagai pedagang dan telah
menjadi warga diwajibkan membayar pajak. Sehingga semua orang yang masuk atau
tinggal di dalam wilayah Jawa harus membayar pajak. Namun dalam berita-berita
Cina dari zaman Dinasti Sung mengatakan bahwa panglima angkatan perang mendapat
gaji setengah tahun sekali sebanyak 10 tahil emas, dan tentara kerajaan digaji
dua kali dalam tahun. Namun yang membingungkan kenapa para panglima dan
prajurit tersebut tidak dikenakan pajak, apakah panglima dan prajurit bukan
merupakan pekerjaan atau sebagai panglima dan prajurit mereka tidak dikenakan
pajak karena mengabdi kepada krajaan.
2.4. Perekonomian Kerajaan
Beberapa prasasti
menerangkan tentang kegiatan perekonomian di kearajaan Mataram Kuna di Jawa
Timur. Antara lain menerangkan tentang kegiatan para penduduk dalam berdagang
dan membuat kerajinan. Dijelaskan pula dalam prasasti Panggumulan
tentang aktivitas berdagang penduduk dari Desa Tunggalangan ke pasar di Desa
Sindingan. Aktivitas itu dilakukan dengan menggunakan alat transportasi pedati
dan perahu. Abakul, adagang, banyaga dan
masamwyawahara merupakan beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut
pedagang. Christie (1982:224-231) berpendapat bahwa abakul ialah pedagang eceran, sedang banyaga ialah pedagang besar yang melakukan perdagangan antarpulau
dan mungkin juga internasional dan adagang
mungkin semacam grosir. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain adalah
hasil bumi, barang-barang hasil kerajinan dan hewan ternak. Pada masa
pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga, perdagangan telah berkembang antarpulau,
bahkan sampai ke taraf internasional. Perdagangan tidak hanya terjadi antardesa
atau antarwilayah saja. Tetapi telah mengalami perkembangan secara pesat ke
lingkup daerah yang lebih luas lagi.
Menurut prasasti
Kamalagyan, para pedagang dari daerah lain atau negara lain banyak yang datang
ke kerajaan Mataram melalui pelabuhan Hujung Galuh di Jawa Timur. Orang-orang
asing yang melakukan perdagangan di wilayah kerajaan oleh Raja Dharmmawangsa
Airlangga disebut wargga kilalan.
Dari berita-berita Cina bisa diketahui kegiatan ekspor yang dilakukan oleh
kerajaan Mataram Kuna. Barang-barang yang diekspor adalah hasil bumi dari pulau
Jawa, Pulau Kalimantan dan pulau-pulau lain di Nusantara. Hasil bumi tersebut
antara lain, garam, kain katun, kapuk, sutra tipis dan sutra kuning, damas,
kain brokat warna-warni, kulit penyu, pinang, pisang raja, gula tebu, kemukus,
cula badak, mutiara, belerang, gaharu, kayu sepang, kayu cendana, cengkih,
pala, merica, damar, kapur barus, tikar pandan dan gading gajah. Wheatley
(1959:4-140) mengatakan bahwa selain mengekspor, kerajaan Mataram Kuna juga
mengimpor barang-barang dari daerah lain atau negara lain. Barang-barang
tersebut antara lain, kain sutra dan payung sutra dari Cina, pedang dari Timur
Tengah dan India, nila dan lilin batik, belanga besi berkaki tiga, piring dan
mangkok bervernis, keramik biru-putih dari Cina, warangan, tikar pandan,
merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak, dan tembaga. Barang-barang
tersebut ada yang untuk konsumsi sendiri di daerah Jawa dan ada yang dijual
lagi.
Dalam melakukan aktivitas
perdagangan, para penduduk Kerajaan Mataram Kuna sudah memakai uang, mereka
sudah tidak memakai lagi sistepertm barter. Dari berita Cina ada yang
menyebutkan bahwa masih ada penduduk yang menggunakan sistim barter, tetapi
kemungkinan besar hal tersebut terjadi di pedalaman luar pulau Jawa. Rockhill
(1911:78-82) menyebutkan bahwa mata uang terbuat dari campuran perak dengan
tembaga dan timah yang dipotong seperti dadu dan diberi cap. Enam puluh biji
mata uang ini bernilai 1 tahil emas dan 32 biji sama dengan ½ tahil. Mata uang
ini dikenal sebagai uang Jawa (she-p’o-kin).
Dari prasasti lain
didapatkan keterangan tentang pemakaian istilah-istilah untuk satuan mata uang
emas dan perak, yaitu suwarna/dharana, masa dan kupang. Satu suwarna atau
satu tahil sama dengan 16 masa dan
sama dengan 64 kupang. Masih ada lagi
istilah mata uang wsi(=besi) atau
mata uang kepeng Cina, mata uang ini
dikenal dengan satuan ikat. Satu ikat terdiri dari 50 kepeng uang Cina.
2.5. Hukum di Kerajaan
Sumber penghasilan
kerajaan dan pemerintah daerah adalah denda-denda yang dikenakan atas segala
macam tindak pidana. Di dalam prasasti istilah yang dipakai ialah sukha duhkha /drawya haji dan dalam istilah naskah hukum disebut hala hayu. Naskah-naskah hukum tersebut
merupakan naskah dari peninggalan kerajaan Majapahit, mengapa demikian? Karena
tidak diketemukan naskah-naskah hukum pada zaman kerajaan Mataram dan Kadiri.
Naskah-naskah hukum tersebut tertulis di atas daun lontar yang tidak bisa
bertahan lebih dari seratus tahun. Naskah hukum itu tidak ditulis di atas
sebuah logam karena berat dan pasti mahal dalam proses pembuatannya, oleh
karena itu tidak diketemukan naskah-naskah hukum pada zaman Mataram dan Kadiri.
Naerssen (1941:357-376) berpendapat bahwa naskah hukum Jawa kuna yang
diketemukan merupakan hasil olahan dari naskah hukum dari India seperti Purwadhigama, Kutaramanawa/Siwasasana dan Swarajambhu. Hal tersebut bisa diketahui karena nama-nama uang yang
dipakai untuk alat pembayaran denda yang menggunakan mata uang dari India
seperti krsnala, dharana dan pana, serta ada yang bermata uang Jawa
seperti ma, su, ku dan kepeng.
Hanya tiga prasasti
yang dijadikan jayapatra/keputusan
peradilan, yaitu prasati Guntur tahun 829 Saka (907 M), prasasti
Warudu Kidul tahun 844 Saka (922 M) dan prasasti Tija yang tidak
diketahui angka tahunnya. Hanya diketahui 18 macam tindak pidana karena
keterbatasan sumber. Naerssen (1941:357-376) menyimpulkan bahwa 18 macam tindak
pidana tersebut adalah tan kawehaning
patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal
tan drwya (menjual barang bukan miliknya), tan kaduman ulihing kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhaning huwus winehaken (meminta
kembali apa yang telah diberikan), tan
kawehaning upahan (tidak memberi imbalan), adwa ring samaya (mengingkari janji), alarambeknyan pamelinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadaning pinangwaken mwang mangwan
(perselisihan antara penggembala ternak dengan majikannya), kahucapaning wates (perselisihan tentang
batas tanah), dandaning saharsa
wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrtting maling (tingkah laku pencuri), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah
tan yogya ring laki stri (perbuatan tidak baik terhadap suami/istri), kadumaning drwya (pembagian hak milik
atau warisan), dan totohan tan prani dan
totohan prani (perjudian dan taruhan). Penyelesaian masalah tindak pidana
itu pertama kali diselesaikan di tingkat daerah/watak yang dipimpin oleh seorang pejabat kehakiman dengan gelar sang samgat. Apabila masalah tersebut
tidak bisa diselesaikan di tingkat watak,
maka bisa diajukan ke tingkat pusat. Yang menjabat hakim di tingkat pusat
adalah sang pamgat tiruan dan sang pamgat manghuri. Jika masalah itu
tidak terselesaikan juga, maka sang raja sendiri yang akan mengurus masalah
tersebut.
Syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh seorang hakim adalah harus mampu memahami dan menguasai
kitab-kitab sastra dari India (Dharmmasastra,
Kutaramanawa, Sarasamuccaya, Canakya, Kamandaka, dan lain sebagainnya) dan
memahami hukum adat yang tidak tertulis. Dengan demikian diharapkan supaya
hakim mampu bersikap tegas dan mampu memberi keadilan terhadap semua penduduk
di lingkungan kerajaan. Groeneveldt (1960:16) mengatakan bahwa di Jawa tidak
dikenal hukuman badan, semua kejahatan dihukum dengan denda dalam mata uang
emas, yang jumlahnya sesuai dengan besar kecilnya kejahatan, hanya perampok dan
pencuri yang dihukum mati. Di dalam naskah-naskah hukum ditentukan bahwa
pembuktian dalam sebuah persengketaan harus didasarkan atas tiga macam bukti/tripamana, yaitu saksi, likhita dan bhukti.
Saksi ialah orang lain yang
menyaksikan suatu perbuatan. Sudharta (1978:64) berpendapat bahwa syarat-syarat
untuk menjadi seorang saksi adalah
harus orang yang sudah berkeluarga, yang banyak anaknya, penduduk asli dan
tidak berkepentingan di dalam perkaranya. Likhita
ialah keterangan tertulis. Bhukti
ialah apa-apa yang telah diperbuat sebagai akibat dari suatu perjanjian antara
kedua belah pihak. Menurut naskah hukum, apabila bhukti sudah ada, maka saksi
dan likhita tidak diperlukan lagi,
karena bhukti bobotnya lebih banyak
daripada yang dua tadi (saksi dan likhita).
Di dalam naskah hukum
juga diatur bahwa apabila ada sebuah perkara dan apabila salah satu pihak yang
bersengketa tidak datang dalam persidangan, maka dikalahkan perkaranya, pihak
yang datang yang dimenangkan perkaranya. Ketentuan tentang daluwarsa juga diatur, istilah hukumnya adalah leleh/kedasawarsa, dalam
pengertian telah lewat 10 tahun. Ketentuan mengenai lamanya suatu perkara telah
dinyatakan leleh atau belum itu
berbeda-beda, tergantung dari masalahnya. Naskah hukum juga mengatur masalah
perpajakan, semua daerah kekuasaan kerajaan terkena pajak, termasuk daerah sima. Daerah sima juga terkena pajak, seperti pajak perdagangan (jual-beli) dan
usaha kerajinan, namun khusus daerah ini pajaknya hanya sebagian dan pajak
ditarik dalam ketentuan-ketentuan khusus.
Masalah pelunasan
hutang-piutang/penebusan gadai juga tetap diatur oleh naskah-naskah hukum. Cara
pelunasan hutang-piutang/penebusan gadai cukup dilakukan dengan cara merobek
surat hutang/gadai dihadapan saksi-saksi setelah uang pelunasan diterima.
Apabila tidak bisa melunasi hutang/gadai, maka andaikata yang punya hutang
adalah seorang istri, dan dia tidak memiliki anak, maka yang bertanggung jawab
melunasi hutang tersebut adalah suaminya. Sedangkan apabila memiliki anak, anak
tersebut berkewajiban melunasi hutang ibunya, tetapi apabila si anak masih
belum cukup umur, maka sang bapak yang harus menanggung hutang istrinya.
3.
KESENIAN
3.1. Seni Sastra
Seni sastra India memberi corak dalam seni sastra
Indonesia. Bahasa Sansekerta sangat memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan
seni sastra di Indonesia. Diantaranya yaitu prasasti Wujakana yang
menceritakan tentang Mahabarata dan Ramayana, wiracarita yang sangat terkemuka
di India, pada permulaan abad X M, sudah dikenal oleh nenek moyang kita dalam bentuk
bahasa Jawa Kuno. Naskah pada masa itu yang diketahui hanyalah Ramayana Kakawin. Wiracarita Ramayana terdiri dari tujuh kitab yang disebut Saptakanda. Urutan kitab menunjukkan kronologi
peristiwa yang terjadi dalam Wiracarita
Ramayana.(http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November
2012.
1.
Balakanda: Kitab
Balakanda merupakan awal dari kisah
Ramayana. Kitab Balakanda
menceritakan Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Prabu Dasarata berputra
empat orang, yaitu Rama, Bharata, Lakshmana dan
Satrughna. Kitab Balakanda juga menceritakan
kisah Sang Rama yang berhasil memenangkan sayembara dan memperistri Sita, puteri Prabu Janaka. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November
2012.
2.
Ayodhyakanda: Kitab
Ayodhyakanda berisi kisah dibuang nya
Rama ke hutan bersama Dewi Sita dan Lakshmana karena permohonan Dewi Kekayi.
Setelah itu, Prabu Dasarata yang sudah tua wafat. Bharata tidak ingin dinobatkan
menjadi Raja, kemudian ia menyusul Rama. Rama menolak untuk kembali ke kerajaan. Akhirnya
Bharata memerintah kerajaan atas
nama Sang Rama. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November
2012.
3. Aranyakanda: Kitab
Aranyakanda menceritakan kisah Rama,
Sita, dan Lakshmana di tengah hutan selama masa pengasingan. Di tengah hutan, Rama sering membantu para pertapa yang
diganggu oleh para rakshasa. Kitab Aranyakanda
juga menceritakan kisah Sita diculik Rawana
dan pertarungan antara Jatayu dengan Rawana. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November
2012.
4.
Kiskindhakanda: Kitab Kiskindhakanda
menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan Raja kera Sugriwa. Sang Rama membantu Sugriwa merebut
kerajaannya dari Subali, kakaknya. Dalam pertempuran, Subali terbunuh. Sugriwa menjadi
Raja di Kiskindha. Kemudian Sang Rama dan Sugriwa bersekutu untuk menggempur Kerajaan
Alengka. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November
2012.
5.
Sundarakanda: Kitab Sundarakanda menceritakan
kisah tentara Kiskindha yang membangun jembatan
Situbanda yang menghubungkan India dengan Alengka. Hanuman yang menjadi duta
Sang Rama pergi ke Alengka dan menghadap Dewi Sita. Di sana ia ditangkap namun dapat meloloskan diri
dan membakar ibu kota Alengka. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November
2012.
6.
Yuddhakanda: Kitab Yuddhakanda menceritakan
kisah pertempuran antara laskar kera Sang Rama dengan pasukan rakshasa Sang
Rawana. Cerita diawali dengan usaha pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi
lautan dan mencapai Alengka. Sementara itu
Wibisana diusir oleh Rawana karena terlalu banyak memberi nasihat. Dalam pertempuran,
Rawana gugur di tangan Rama oleh senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat
ke Ayodhya bersama Dewi Sita. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November
2012.
7. Uttarakanda: Kitab
Uttarakanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang Rama mendengar desas-desus dari rakyat yang
sangsi dengan kesucian Dewi Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan Rsi Walmiki
dan melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan
Lawa datang ke istana Sang Rama pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka menyanyikan Ramayana
yang digubah oleh Rsi Walmiki. http://id.wikipedia.org/wiki/Ramayana), diakses 03 November
2012.
Kitab Mahabharata
Mahabharata
adalah epik India yang menceritakan pertikaian
antara keturunan Raja Bharata dari Hastinapura, yakni Pandawa sebagai pihak kebaikan
melawan pihak Kurawa sebagai pihak kebatilan. Pandawa (lima bersaudara) dan Kurawa
(seratus bersaudara: 99 laki-laki, 1 wanita) adalah saudara sepupu dari garis
ayah. Peperangan antara mereka dikenal dengan Bharatayudha (Peperangan antara keturunan Bharata), yang
berlangsung di lapang Kurusetra dan dimenangkan pihak Pandawa. Meski menang,
banyak saudara dan raja pembantu dari Pandawa yang gugur dalam perang.
KitabMahabharata dianggap sebagai kitab suciWeda ke-5 setelah Rigweda, Yajurweda, Samaweda, dan Atharwaweda. Mahabharata asli terdiri
atas 100.000 seloka yang terbagi dalam 18 parwa (jilid atau buku).
Selain 18 parwa, ada pula tambahan
yang berjudul Hariwangsa, yaitu
cerita asal-usul Kresna (Krishna), sepupu Pandawa yang menjadi penasehat Pandawa
dalam perang Bharatayudha. Kresna pula yang menyemangati Arjuna yang patah semangat
untuk berperang melawan Kurawa, karena ia
harus berhadapan dan membunuh guru, leluhur, dan sanak-saudaranya sendiri. Nasihat
Kresna kepada Arjuna ini termuat dalam episode Bhagawad Gita.
Di dalam Mahabharata ini banyak terdapat nama kerajaan yang memang ada di
India secara historis, di antaranya Magadha dan Kalingga. Sebagai karya sastra,
tentunya karya ini berkaitan dengan kenyataan sehari-hari rakyat India ketika itu.
Di dalam kitab tersebut tersimpan ajaran moral, etika politik, persaingan antarkeluarga
dalam memperebutkan takhta, akibat keserakahan dan peperangan, hingga kisah asmara.
Ditekankan pula bahwa seseorang harus berbakti kepada orang tua dan Negara
meski untuk itu ia harus mengorbankan kepentingan
pribadinya (seperti kisah Bisma). Dan yang pasti bahwa kasta ksatria adalah mereka
yang dipilih dewa untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan di mukabumi. (http://ssbelajar.blogspot.com/2012/05/kitab-kitab-terkenal-dalam-
sejarah.html),diakses 03 November 2012.
Kitab Arjunawiwaha
Kakawin lainnya adalah Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa yang
ditulis dalam bahasa Kawi pada zaman Airlangga, Raja Medang Kamulan. Kakawin ini
ditulis sekitar tahun 941-964 Saka atau
1019-1042 Masehi. Dalam Arjunawiwaha ini,
sosok Arjuna diibaratkan sebagai Airlangga. Karena populernya, cerita ini berkali-kali
ditulis ulang dengan berbagai judul berbeda, misalnya Mintaraga atau Bagawan Ciptaning.
Arjunawiwaha
(Perkawinan Arjuna), mengisahkan perjalanan Arjuna bersama Pandawa
lainnya yang tengah menjalani hukuman pengasingan selama 12 tahun karena kalah bermain
judi dadu dengan Kurawa. Di tengah perjalanan, Arjuna pergi sendirian untuk menjalani
tapa-brata. Ketika bertapa, Arjuna didatangi oleh Dewa Indra, atas saran Dewa Siwa
dari kahyangan, yang bertujuan meminta bantuan Arjuna untuk mengalahkan raja raksasa
Niwatakawaca dari Kerajaan Manimantaka. Niwatakawaca sebelumnya berhasil menyerang
kahyangan (swarga; tempat tinggal
para dewa) karena ia menginginkan Dewi Supraba, seorang bidadari yang cantik, untuk diperistri.
Sebelum didatangi oleh Dewa Indra,
mulanya Arjuna didatangi oleh tujuh bidadari kahyangan (di antaranya Dewi Supraba
sendiri dan Nilotama) untuk menggoda tapanya. Karena tak berhasil dirayu para bidadari,
akhirnya Dewa Indralah yang turun tangan. Singkat cerita, Arjuna yang telah dibekali
panah Pasopati oleh Dewa Siwa mampu mengalahkan Raja Niwatakawaca. Setelah berhasil,
Arjuna dinikahkan dengan Dewi Supraba dan enam bidadari lainnya. Oleh Dewa Indra,
Arjuna diperbolehkan berbulan madu selama
tujuh hari di kahyangan. (http://ssbelajar.blogspot.com/2012/05/kitab-kitab-terkenal-dalam-
sejarah.html),diakses 03 November 2012.
3.2. Seni Pertunjukan
Di dalam prasasti Wukajana
telah diketahui tentang pertunjukan wayang pada masa pemerintahan Rakai Watukara
Dyah Balitung. Prasasti tersebut berisi tentang upacara penetapan desaWukajana,
Tumpang, Wuru Telu menjadi sima untuk
memeriahkannya lalu diadakan pertunjukan wayang yang didalangi oleh Si Galigi
yang memainkan lakon Bhima Kumara.
Selain pertunjukan wayang
kulit ada juga pertunjukan lawak (mamirus
dan mabanol). Pada relief candi juga
banyak menggambarkan pelawak tersebut, seperti tokoh-tokoh punakawan pada
relief candi-candi di JawaTimur.
Selain pertunjukan di
atas upacara sima juga sering di isi oleh pertunjukan tari-tarian. Ada tarian bebas dan tarian khusus seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan rawana
hasta. Tetapi belum dapat dikenali jenis-jenis tarian tersebut. Ada juga tari topeng
(matapukan). Tarian ini biasanya diiringi
oleh gamelan. Pada prasasti dan relief
candi juga menampilkan jenis-jenis alat gamelan seperti gendang (padahi), kecer atau simbal (regang), beberapa macam bentuk
kecapi (wina), seruling, dan gong. Sejarah
Nasional Indonesia “Jilid II” (Edisi
Pemutakhiran, 2010).
Kesimpulan
Kerajaan Mataram di
Jawa Timur karena pusat pemerintahan dari Jawa Tengah yang dipindahkan,
disebabkan adanya letusan Gunung Merapi yang amat dahsyat. Kerajaan ini dikenal
dengan wangsa Isana.
Wangsa Isana didirikan
oleh Pu Sindok (Sri Isanatungga). Mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan
Raja Dharmmawangsa Teguh. Namun, dalam pemerintahannya, kerajaan Mataram
mengalami kehancuran diserang oleh Haji Wurawuri yang tidak senang, karena
tidak berhasil menjadi menantu Dharmmawangsa. Yang menjadi menantu
Dharmmawangsa adalah Airlangga yang selanjutnya menjadi memecah kerajaan
menjadi dua, yaitu Pangjalu dan Jenggala dengan tujuan agar tidak terjadi
pertikaian di antara keturunannya.
Pada masa pemerintahan
Airlangga, ia mempunyai seorang pujangga yang ulung/ahli sehingga didapatkan
banyak kitab yang menggunakan bahasa Jawa Kuno.
DAFTAR
RUJUKAN
·
Tim Nasional Penulisan Sejarah
Indonesia. 2010. Sejarah Nasional
Indonesia: Zaman Kuno (Jilid II). Jakarta: Balai Pustaka.
·
Soejono. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
·
Hirth, F. dan W.W. Rockhill, Chau Ju-kua, His Work on Chinese and Arab
Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled ‘Chu Fan Chi ; St.
Petersburg, 1911 (reprint: New York: Paragon, 1966; Taipei, 1967).
·
Sejarah
Peradaban Manusia: Zaman Mataram Kuna. 2. Jakarta: Gita Karya.
·
Suwito, T. dan Darmawan, W. 2012. Kerajaan Mataram Kuno Dan Kehidupan Masyarakatnya (Online), (https://www.mozilla.com/en-US/plugincheck/).
·
http://ssbelajar.blogspot.com/2012/05/kitab-kitab-terkenal-dalam-sejarah.html
·
Van Naerssen, F.H. 1941. De Astadasawyawahara in het Oud-Javaansch.
·
Groeneveldt, W.P. 1960. Notes on the Malay Archipelago and Malaca
compiled from Chinese Sources. Djakarta. Bhatara.
·
Sudarta, C.R. & Pudja, G. 1978. Manawa Dharmacastra (Manu Dharmacastra)
atau Weda Smrti Compedium Hukum Hindu.
Jakarta. Departemen Agama Republik Indonesia.
·
Christie, J.W. 1982. Pattern of Trade in Western Indonesia: Ninth
through Thirteenth Centuries. London. Disertasi School of Oriental and
African Studies University of London.
·
Wheathley, P. 1959. Geographical Notes on Some Commodities involved in Sung Maritime Trade.
Kuala Lumpur. Oxfprd University Press.